Kraukk.com

728 x 90

Monday, October 31, 2011

Cerita Dari Magelang – Part 1

Tiba di bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, hari masihlah pagi sekitar pukul 7 dan langit kota budaya ini masih diliputi awan kelabu. Seorang lelaki lengkap dengan baju tradisional Jawa sudah menunggu dengan senyum yang mengembang dan menjadikan bandara menjadi cerah. Ia menanti kedatangan rombongan dari Lumix Fun Photo Trip dengan sebuah kertas ditangannya.

Lelaki itu yang ternyata adalah Tour Guide kami. Di dalam bus ia memperkenalkan diri akan menemani sepanjang perjalanan kami hingga hari terakhir kami di Magelang dan Yogyakarta. Ia banyak cerita mengenai kota Yogya dan baju tradisional yang ia kenakan.

Dari bandara , tujuan pertama kali adalah singgah di sebuah rumah makan yang dekat sekali dengan kompleks Universitas Gajah Mada. Dari tepi jalan kami masuk ke salah satu gang dan menemukan sebuah rumah yang sederhana tetapi sangat ramai disinggahi. Rumah makan yang menyediakan makanan khas Yogyakarta, yakni Gudeg Yu Djum.

Dari informasi bapak tour guide-nya, rumah yang kami datangi adalah rumah asli dari si pemilik nama rumah makan ini. Di depan pintu masuk, beberapa bapak-bapak tua memainkan alat musik keroncong dan mereka bernyanyi bersama. Saya seperti menjadi tamu kehormatan mendapat sambutan musik yang mungkin sudah tidak dapat di dengar di televisi ataupun radio.

Gudeg disajikan di atas piring yang terbuat dari anyaman bambu dan dialasi daun pisang segar dan kertas nasi berwarna coklat. Diatasnya terdapat nasi, telor dan irisan daging serta beberapa cabai hijau. Rasa gudeg itu begitu manis dilidah dan bumbu-bumbunya menambah rasa sesuai selera. Suasana di dalam rumahnya begitu akrab dan nyaman.

Bagian belakang rumah adalah dapurnya. Bahan masakan untuk gudeg ini dimasak di atas tungku yang menggunakan kayu bakar. Beberapa potongan kayu bakar sudah siap sedia di dekat tungku. Pemandangan yang tak pernah dilihat di kota besar seperti Jakarta.
Perjalanan dilanjutkan setelah sarapan dan menuju Magelang dan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam setengah. Dari Yogya perjalanan melewati Jalan Raya menuju Magelang, lalu Muntilan hingga menuju kota Magelang, menuju tempat penginapan kami yakni di Hotel Puri Asri.

Saat melewati Jalan raya tersebut beberapa kendaraan alat berat sedang memperbaiki tempat dimana saksi bisu dari letusan Merapi tanggal 26 Oktober 2010, menghancurkan tempat ini. Puing-puing sedang dibersihkan dan ruas jalan dialihkan. Kemudian, ketika melewati daerah Muntilan, kami diajak melihat bangunan yang kedua atap rumahnya berbentuk seperti pelana kuda.

Disebutkan bahwa kawasan Muntilan ini adalah kawasan Pecinan atau kaum Tionghoa di Jawa Tengah. Masih banyak terdapat bangunan bersejarah tetapi kurang diperhatikan dan sekarang menjadi tempat yang ramai. Di tepi jalan kawasan ini , terdapat sebuah wihara yang bersejarah bernama Hok An Kiong yang ternyata setelah santap siang kami berkunjung ke tempat ini.

Di kota Magelang sendiri, terasa kota ini sangat nyaman dan tenang. Seperti semua pergerakan roda ekonomi begitu pelan tetapi enak untuk dinikmati. Tidak ada tergesa-gesaan dan terlihat mereka yang tinggal begitu menikmati hidup. “Rasanya di tempat senyaman ini, nilai uang masih memiliki arti”, demikian yang dikatakan teman saya, saat bus melintasi kota Magelang.

Ketika kami tiba di Hotel Puri Asri dibagikan ruang kamar dan kelompok Photo. Satu kelompok terdiri dari tiga orang dipinjamkan satu kamera pocket merk Lumix , lengkap dengan memorycard dan charger. Jadi, selama dua hari , kami masing-masing dalam satu kelompok memotret apapun dari tempat-tempat yang nanti dikunjungi dengan kamera yang dipinjamkan untuk dilombakan. Walaupun kami masing-masing juga membawa kamera pribadi.

Setelah makan siang di sebuah tempat makan “Sego n’Deso” di kawasan Jl. Pemuda, Magelang kami melanjutkan perjalanan. Tempat pertama dari Lumix Fun Photo Trip adalah Wihara Hok An Kiong yang tadi sudah dilewati. Cuaca cukup terik dan matahari menyinari bumi dengan sengatnya yang menusuk kulit. Gapura wihara yang menawan dengan ornament berwarna merah menyambut kedatangan kami.

Lekukan dari tiap-tiap atap gapura yang terdiri atas tiga susun ini mengingatkan saya dengan sebuah Wihara yang terdapat di sebuah kawasan perumahan elite di Ancol yakni Wihara Da Bo Gong. Saya hanya menduga mungkin ada kaitannya karena kemiripan dari gapuranya terlihat jelas. Dan ternyata benar , wihara tersebut ada kaitannya dengan Laksamana Cheng Ho seperti yang ada di Ancol. Dan tertulis di dinding pagar Anno, 11-05-1929.

Setelah puas mengambil beberapa photo di wihara Hok An Kiong, tempat kedua adalah Candi Borobudur. Tempat bersejarah yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 09 Juli 1989 dan menjadi salah satu keajaiban dunia ini sudah mulai dibuka kembali untuk umum sejak pembersihan dari abu vulkanik Merapi yang katanya beberapa bagian sudah mengalami perubahan dari bentuk aslinya.

Dan para pengunjung sudah diperbolehkan untuk naik ke stupa atau tingkatan yang 9 – 10 dari candi yang megah ini. Tetapi itupun tidak boleh terlalu lama juga pengunjung tidak boleh duduk di stupa candi.

Setelah turun dari bus kami diserbu para pedagang, mereka memaksa dengan caranya membeli souvernir, kaos atau apapun. Harus pinter-pinter menolak deh karena kalau diladeni mereka akan terus mengejar.

Harga tiket masuk Candi Borobudur sebesar Rp 20.000,- per orang dan ada guide-nya. Sebelum masuk ke dalam pelataran candi, pengunjung diperiksa oleh keamanan dan melewati pintu detector. Segala macam bawaan diperiksa, sekarang pengamananya super ketat atau mungkin baru sadar kalau tempat ini adalah salah satu peninggalan sejarah yang harus dijaga kelestariannya.

Setelah di dalam pelataran para pengunjung diberikan kain penutup satu orang satu kain yang dililitkan dipinggang. Saya teringat seperti mau masuk ke Pura Jagatkarta yang ada di Bogor, pengunjung wajib memakai kain. Dan setelah selesai dari Candi Borobudur, kain tersebut dikembalikan kembali.

Dengan berjalan kaki, kami menuju lokasi candi hingga menuju anak tangganya. Tetapi dari kejauhan pesona Candi Borobudur yang pertama kali saya kunjungi saat masih SMA, sudah terlihat jelas puncak stupa dan beberapa bagian badan candi. Apalagi matahari sore muali menyembul dari bagian badan candinya membuatnya bercahaya.

Memang ada beberapa tempat di lantai ke dua atau ketiga yang di tutup dan para pengunjung tidak diperkenankan untuk melintas. Katanya sih selain pemugaran juga ada beberapa relief orang dewasa yang tidak pantas dilihat oleh anak-anak. Kami di ajak oleh guide candi melewati sisi kiri candi serta melintasi sebuah pohon yang disebut Pohon Bodhi, tempat Sang Buddha bertapa dan mendapat pencerahan.

Saya kagum dengan bangunan candi yang megah ini dan hebatnya kisah perjalanan seorang Buddha digambarkan di relief dinding candi. Batu-batuan saling menempel tanpa semen ataupun perekat hingga dapat kokoh berdiri seperti ini. Sebuah maha karya yang luar biasa.

Di pertengahan candi, kami melihat bukit yang menjulang. Bukit tersebut dikenal dengan Bukit Menoreh. Jika diperhatikan bukit tersebut seperti orang yang sedang tidur dengan posisi telentang. Dan keindahan pemandangan yang ditampilkan begitu memukau saat matahari hendak menuju tempat peristirahatannya. Sungguh luar biasa tempat seindah ini hadir dan nyata di depan mata.

Akhir dari perjalanan hari pertama di Magelang, adalah kembali ke kamar hotel yang sejuk. Lalu melanjutkan ke ruang makan dimana hidangan makan malam sudah menanti serta di mulai workshop tentang Fotografi oleh Mas Kelik Broto dari Majalah Tamasya, majalah yang menyelenggarakan acara ini.

Cerita Magelang hari pertama di tutup sampai disini :)

Penulis
Veronica Setiawati
Peserta LUMIX Fun Photo Trip
www.veronicasetiawati.blogspot.com

Thursday, March 10, 2011

Benteng Pendem dan Nusakambangan

Benteng peninggalan pada masa penjajahan Belanda menjadi sebuah saksi sejarah di bumi nusantara. Bukti sejarah kokohnya benteng-benteng tersebut masih bisa dilihat dan dikunjungi. Kali ini saya menceritakan ketika jejajahi benteng yang berada di kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Benteng Karang Bolong.

Untuk dapat sampai ke Benteng Karang Bolong digunakan perahu motor nelayan dari pantai Teluk Penyu menuju kawasan Pulau Nusakambangan. Tidak sampai 15 menit sudah tiba di dermaga Nusakambangan bagian timur melewati Selat Segara Anakan. Sepanjang perjalanan menuju dermaga tersebut saya melihat dua buah kapal minyak yang sedang merapat serta hijaunya Nusakambangan.

Ketinggian pulau adalah antara 0 - 50 meter diatas permukaan laut. Di sebelah selatan,barat dan timur berbatasan dengan Samudra Hindia dan sebelah utara berbatasan dengan Selat Segara Anakan, Bengawan Donan, muara sungai Citanduy, dan kota Cilacap. Selain sebagai kawasan cagar alam, Pulau Nusakambangan juga terdapat perkebunan milik warga seperti kelapa.

Nusakambangan tidak berpenduduk kecuali disekitar dermaganya itupun hanya warung-warung makanan dibuka untuk kunjungan wisata atau sebagai tempat singgah penduduk yang akan mengambil panennya. Letak Benteng Karang Bolong berada di bagian timur Nusakambangan.Sedangkan penjara yang ada di Nusakambangan letaknya berada dibagian barat pulau. Dahulu, para napi yang ada diNusakambangan dipekerjakan untuk berkebun disini juga membangun rel kereta api dari Cilacap menuju Jogja.

Perjalanan menuju Benteng Pendem dari dermaga cukup melelahkan karena medannya yang berbukit serta melewati kawasan hutan belukar selain itu ditempuh dengan berjalan kaki. Di dalam kawasan hutan ini, ada sebuah pohon bernama Pohon Gondong. Pohon tersebut memiliki bebijian berwarna hijau, serta berfungsi sebagai penyimpanan air minum dan juga obat-obatan. Karena air disekitar pulau ini rasanya payau sehingga penduduk menggunakan pohon ini sebagai air minum mereka.

Gerbang Benteng Karang Bolong hampir tidak terlihat karena tertutup akar pohon. Sehingga dari jauh mirip sebuah kastil yang angker dan menyeramkan untuk didekati. Bangunanya berbentuk huruf U terbalik , seperti arsitektur pintu yang ada di Museum Bahari. Diantara bata-bata yang tersusun dan sangat tebal ini ada sebuah celah yang sengaja dibuat sebagai ventilasi udara. Luas benteng ini sekitar 6.000M2 dan digunakan oleh tentara Belanda sebagai benteng pertahanan. Menurut pemandunya sih dibangun sekitar tahun 1855.

“Dibawah kaki kita ini adalah benteng juga, tetapi belum digali (dibaca : ekskavasi).” Demikian yang dikatakan oleh pemandunya. Saya pun sungguh heran karena tingginya benteng bahkan sampai menembus ruang bawah tanah. Hanya sayangnya tertutup lumut dan akar pohon. Diperkirakan benteng ini terdiri 4 lantai dengan dua lantai berada di atas permukaan tanah dan dua lantai lagi berada di bawah permukaan tanah . Saya dan teman-teman dituntun oleh pemandunya menuruni anak tangga.

Ruangan yang ada dibawah tanah sangat gelap begitupun ketika menuruni anak tangga yang ada di dalam benteng. Lebih baik membawa senter atau headlamp. Selesai menuruni anak tangga akan menemukan sebuah lorong yang panjang. Lorong itu merupakan jalan dimana terdapat ruangan besar yang ada dikiri dan kanannya. Ada ruang aula, barak prajurit, ruang penjara dan ruang penyiksaan serta terdapat ruang pos jaga. Di luar lorong tersebut terdapat ruang pengintaian. Lubang yang mengarah ke laut digunakan sebagai tempat penembakan jika ada musuh yang datang. Ada juga sebuah meriam yang sangat panjang di dekat pantai. Oleh sebab itu Benteng Karang Bolong juga disebut sebagai benteng alteri sebab segala perlengkapan perang dan ruang-ruang penyimpanan amunisi tersedia di dalam benteng.

Pemandangan lain yang dapat dilihat tidak jauh dari Benteng Karang Bolong adalah pantainya. Pesona pantai laut selatan dengan pasir putih dan karang-karang yang ada ditepi pantai. Menurut pemandunya, konon terdapat lorong bawah tanah yang menghubungkan benteng ini dengan Benteng Pendem dengan melewati dasar laut.

Benteng Pendem

Tidak jauh dari pantai Teluk Penyu terdapat sebuah benteng yang juga merupakan benteng pertahanan tentara Belanda yang menjorok ke laut. Setelah medarat dari Pulau Nusakambangan, perjalanan selanjutnya adalah menjelajahi benteng Pendem.

Benteng Pedem dinamakan demikian karena terpendam dibawah tanah. Dalam bahasa Belanda dinamakan “Usbatterij Op De Lantong Te Tjilatjap”. Benteng Pendem dibangun secara bertahap pada tahun 1861 - 1879. Benteng ini dibangun karena letaknya yang strategis untuk pendaratan dan pantainya terlindung oleh Pulau Nusakambangan.

Sejarah Benteng Pendem ini menurut synopsis yang dibagikan. pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia, benteng Pendem dijadikan markas tentara. Selama dua tahun kosong sejak Jepang kalah oleh sekutu dan Benteng Pendem kembali ke tangan tentara Hindia Belanda ( KNIL ) sampai tahun 1950. Baru ditempati kembali pada tahun 1952 sampai akhir 1965 sebagai markas TNI pasukan Banteng Loreng. Pernah juga didipakai sebagai tempat latihan pasukan RPKAD ( Kopassus ).

Sekitar duapuluh satu tahun , benteng ini terbengkalai dan tidak terurus. Sampai suatu saat seorang warga Cilacap bernama Adi Wardoyo memberanikan diri menata dan menggali lingkungan benteng sejak tanggal 26 November 1986. Sebab, disekitar lokasi benteng, telah dibangun dermaga,kantor dan tangki kilang minyak untuk Pertamina dengan sebutan Area 70 dengan memanfaatkan sebagian areal Benteng Pendem seluas 4 ha. Kemudian sejak tanggal 28 April 1987 Benteng Pendem resmi dibuka untuk umum hingga saat ini.

Saat ini benteng pendem sudah banyak dikunjungi dengan beberapa fasilitas tempat rekreasi untuk anak-anak dan keluarga. Seorang bapak yang memandu saya dan teman-teman dari Komunitas Jelajah Budaya, mengatakan bahwa sungai besar yang pernah mengaliri tempat ini yang berasal dari laut telah dibuat menjadi kolam buatan. Lokasi Benteng ada dibagian belakang tempat rekreasi ini. Bagian awal dari lokasi Benteng Pendem adalah bangungan yang memiliki barak yang menjadi tempat tinggal para prajurit Belanda. Satu kamar terdiri dari 40 - 50 orang dan tepat di depan bangunan barak ada tempat mandi para tentara.

Bagian tengah dari lokasi benteng, ada sebuah taman yang cukup luas. Ada beberapa ekor rusa hidup disana. Selain itu terdapat ruang-ruang yang besar. Seperti ruang klinik, sebuah bangunan yang terbagi dua ruang. Ruang yang kecil pernah digunakan sebagai tempat operasi dan ruang yang besar untuk perawatan dari tentara Belanda yang terluka. Selain itu ada ruang amunisi, ruang akomodasi, gudang peluru, ruang penjara yang terdapat sebuah ruang baca untuk para narapidana yang menerima surat dengan penerangannya memakai obor.

Dibagian lain dari lokasi benteng ada sebuah terowongan yang panjangnya sekitar 100 meter. Terowongan ini sangat gelap dan berisi air setinggi mata kaki. Tinggi terowongan sekitar 160 meter. Tempat yang lembab membuat terowongan ini penuh dengan lumut. Keluar dari terowongan ada sebuah goa jepang yang letaknya dibawah permukaan tanah. Selain goa, ada sebuah tempat penyiksaan para tawanan dengan dicelupkan ke dalam sebuah kubangan air sedalam 1 meter.

Dekat kolam buatan, ada juga sebuah benteng yang memanjang dipakai sebagai pertahanan karena letaknya menghadap laut. Cinderamata terbuat dari kerang banyak dijual ketika menuju pintu keluar benteng. Tepat di muka benteng, terdapat sebuah menara pantai yang digunakan untuk memantau kondisi pantai Cilacap.

Kuliner dan oleh-olehdari Cilacap.

Kuliner yang ditawarkan di dekat Benteng pendem adalah makanan laut tentunya. Jika ingin mencicipi aneka seafood seperti udang goreng tepung, ikan bakar, cumi asem manis dan lainnya atau sekedar menikmati segarnya air kelapa semua dapat dinikmati di tempat makan yang ada disepanjang pantai. Bahkan sambil menyantap makanan pun masih dapat menkmati indahnya pantai. Selain makanan, tidak lengkap tanpa membawa oleh-oleh ikan asin, terasi atau ikan-ikan basah dapat diperoleh dengan harga yang cukup terjangkau di kios-kios kecil depan restoran/rumah makan.

Kalau malam hari, disekitar alun-alun terdapat sebuah lokasi makanan yang sangat ramai dikunjungi. Tinggal pilih mau pesan makanan sesuai selera. Alun-alun sangat ramai dan jika ada yang ingin menikmati jajanan kecil dapat juga membeli disini. “Setiap hari selalu ramai, tidak tergantung malam minggu atau tidak. Tapi kalau hujan ya bubar ,Mba.” ucap seorang pedagang ronde yang menjelaskan mengenai keramaian di alun-alun ini.

Cilacap, 05 Maret 2011

Veronica Setiawati

Menjelajahi Kegelapan Goa Di Pangandaran.

Pangandaran! Siapa yang tidak kenal dengan tempat yang sangat terkenal dengan keindahan pantainya ini dan tempat dimana pernah hancur akibat terjadinya Tsunami. Saya pun teringat untuk pertama kalinya datang ke Pangandaran sekitar tahun 2010 yang lalu. Saya berada di tepi pantai timur melihat munculnya kemegahan matahari pagi yang sungguh eksotis dan menawan dari balik bukit. Tak bisa pernah lupa keindahannya!

Perjalanan kali ini bukan hanya melihat keindahan pantai Pangandaran saja, melainkan berkunjung ke sebuah cagar alam. Mungkin bagi sebagian orang yang pernah berlibur ke Pangandaran, pernah mendengar ataupun mengetahui ada sebuah cagar alam disini. Nah, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Komunitas Jelajah Budaya ingin melihat , merasakan dan menjelajahi suasana seperti apa sih ketika berada di cagar alam yang memang masih hutan.

Ketika dipintu masuk gerbang utama cagar alam, seorang pemandu menceritakan sedikit mengenai adanya beberapa ekor kera yang akan kami temui di dalam hutan. Beberapa saran yang diberitahukan kepada kami ketika berhadapan dengan kera-kera tersebut. Seperti :

“Mengangkat kedua tangan ketika ada kera yang datang menghampiri. Mereka akan mengerti kalau pengunjung tidak membawa makanan.”.

“Tidak menenteng plastik berisi makanan yang dapat terlihat oleh kera , lebih baik disembunyikan di dalam kantong/saku. Karena kera-kera tersebut akan mengambilnya”

“Jika kera tersebut menggigit , maka digigit balik?”

Saran yang terakhir aneh ya? Tapi itulah cara mereka mendekatkan diri dengan kami. Saran lelucon yang diberikan oleh pemandunya supaya kami bisa lebih santai hehe.. Tahu tidak, ternyata kera-kera tersebut tidak suka air aqua l1299993512262036419oh. Mereka lebih memilih minuman yang berwarna dan bersoda. Luar biasa deh!

Sesampainya disebuah tempat yang terdapat papan informasi tentang cagar alam ini, mulai deh si pemandu memberitahukan isi cagar alam. Ternyata di dalam cagar alam terdapat beberapa goa yang masih alami ,lalu ada air terjun dan bunga Rafflesia juga ada di sini Bahkan petualangan yang lebih ekstrim juga ada! Karena waktu yang terbatas karena harus melewati trekking yang panjang dan melelahkan , maka cukuplah kami menjelajahi goa-goa yang terdapat di cagar alam ini. Oh ya, karena ketika menjelajahi goa , tempatnya pasti gelap dan membutuhkan cahaya sebagai penerang jalan.Bagi yang tidak membawa senter, bisa menyewa dengan harga RP 5.000 per senter. Kalau mau gratis lebih baik bawa sendiri.

Saat berjalan menuju lokasi goa, sepanjang kiri dan kanan jalan masih banyak pepohonan yang tinggi dan besar. Jalan yang dilaluipun sudah bagus dan tertata seperti trotoar. Goa-goa yang dijelajahi adalah, Goa Jepang, Goa Panggung dan Goa Pahat. Masing-masing goa tentunya memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Setiap goa juga memiliki informasinya sendiri yang dipasang di depan pintu masuk goa sehingga pengunjung dapat membaca apa yang ingin disampaikan mengenai goa tersebut.

Berjalan cukup lama akhirnya sampai juga dilokasi sebuah goa. Goa Jepang adalah goa pertama yang kami datangi. Pintu masuknya sangat tersembunyi dibalik akar pohon dan tertutup. Tingginya tidak lebih dari 1,5 meter, bagi yang mempunyai tinggi badan lebih dari itu akan menunduk untuk menyusuri sepanjang lorong goa. Satu persatu antri masuk ke dalamnya sehingga membentuk bak rangakain kereta. Karena tempatnya yang gelap, kami berjalan sambil meraba pada dinding goa. Goa Jepang ini adalah goa buatan. Bahkan dindingnya tidak terbuat dari tanah melainkan dari batu karang yang dipahat. Jika diraba akan terasa licin seperti menyentuh marmer, diatas Goa Jepang terdapat pohon-pohon yang besar dengan akar-akarnya yang merambat.

Ada yang unik lainnya, yakni ketika sampai sampai dimulut goa yang terakhir yang merupakan pintu keluarnya. Ada sebuah tangga yang terbuat dari akar-akar pohon yang merambat. Satu persatu kami menaiki tangga tersebut lalu keluar melalui sebuah celah yang kecil diantara akar pohon. Lebar celah itu cukup dilalui satu orang saja. Waah, baru goa pertama saja sudah seperti ini apalagi selanjutnya, serasa caving kembali!

Dari Goa Jepang, kami diajak ke sebuah tempat yang berada didalam hutan. Pemandunya memperkenalkan kami terdapat sebuah pohon yang besar dengan akar pohon berbentuk seperti roket. Sampai-sampai di papan keterangan dekat pohon tersebut tertulis “Menurut Anda , apakah struktur roket terinspirasi oleh akar pohon Manir?” Karena kalau dilihat lebih teliti memang strukturnya akarnya sangat mirip.

Tidak jauh dari pohon tersebut, dikenalkan juga sebuah situs peninggalan Kerajaan Pangandaran. Ada sebuah batu yang berbentuk seperti anak sapi yang sedang duduk. Batu itu dinamakan Batu Kalde. Dihadapannya ada juga sepasang batu yang lain yang dinamakan Linggayoni. Lingga untuk sebutan laki-laki dan Yoni untuk sebutan wanita. Disebelah batu kalde yang dipagari oleh kayu ini , terdapat sebuah makam bernisan batu. Dugaan pemandunya makam tersebut hanya makam simbol dari penguasa Kerajaan Pangandaran yang beragama Hindu yang telah masuk Islam. Diketahuinya dari cara orang tersebut dikubur di dalam tanah.

Ketika perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan mahoni , disambut dengan bunyi yang bersahutan seperti bunyi jangkrik. Agak menyeramkan sih. Uuh seandainya berjalan sendirian tanpa ada yang memandu bisa tersesat atau mungkin diam ditempat saja. Makanya, ketika beberapa orang dibelakang jauh tertinggal, mereka yang sudah didepan harus menunggu. Memang sengaja pemandunya melewati hutan ini sebagai jalan pintas karena untuk mempersingkat waktu saja Seru banget, bener-bener jadi “bolang”!

Akhirnya saya dan teman-teman tiba juga disebuah bibir pantai setelah keluar dari hutan. Untunglah, cuaca sangat cerah dan langit berwarna biru sehingga pemandangan pantai terlihat sangat cantik dengan perahu-perahu nelayan yang sedang menepi. Di depan pantai tersebut juga ada sebuah goa yang masih alami yang bernama Goa Panggung. Ketika tiba di depan mulut goa, sekilas saya teringat ada kemiripan dengan Gua Maria Tritis yang ada di Jogja. Bentuk goa sangat terbuka dengan batuan stalagtitnya yang tajam sehingga cahaya matahari dapat masuk kedalamnya. Dari Gua Panggung bisa melihat langsung ke laut Selatan. Sebuah legenda mengatakan bahwa goa ini dulunya adalah tempatnya Mbah Jaga Lautan, anak angkat dari Nyi Roro Kidul yang ditugaskan untuk menjaga lautan di bagian Jawa Barat.

Di dalam gua ada sebuah tempat yang agak tinggi seperti panggung, sehingga tempat ini diberi nama Gua Panggung. Tangganya pun terbuat dari batuan karang dan ada pengangan ketika menaiki/menuruni anak tangga tersebut. Cukup licin karena pasir yang sudah mengendap sebagai dasarnya. Di sana juga ada sebuah makam yang disimbolkan sebagai makam dari Mbah Jaga Lautan. Agak pengap kalau saya rasakan karena bagian panggung dekat makam tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Deburan ombak terdengar jelas dari atas panggung ini. Keindahan karang-karang yang menjaga goa ini dari ombak laut serta batu-batuan stalagtit akan menakjubkan bagi siapapun yang melihat. Pemandu kami juga memberitahukan ada sebuah batu yang jika terkena cahaya berkilauan seperti berlian menempel pada langit-langit goa. Sungguh Menarik!

Gua yang terakhir dijelajahi adalah Gua Parat / Keramat. Waah apa yang menyebabkan gua ini menjadi keramat ya? Ternyata ada sebuah legenda setelah melalui pertapaan di dalam goa inilah akhirnya dapat menemukan anaknya hilang. Ada yang unik dan sangat berbeda dengan goa-goa yang sebelumnya. Selain tempatnya yang lebih gelap , pintu masuk goanya sangat pendek. Untuk dapat masuk ke dalamnya , kami harus membungkukan badan dan kepala agar tidak terkena batuan goa diatas punggung. Setelah sampai di dalam goa, ternyata tempatnya sangat luas dan langit-langit goanya pun sangat tinggi sehingga tidak perlu lagi menunduk dan membungkukan badan.

Keunikan yang pertama yang dilihat dari Gua Parat ketika sudah berada di dalam adalah sebuah batu yang berbentuk unta yang sedang duduk dan dibelakangnya terdapat batuan seperti yang ada di gua panggung akan berkilauan ketika diberi cahaya. Namun sayang , hanya sebagia saja yang mengkilap karena sudah tersentuh telapak tangan para pengunjung, sehingga memudarkan kilauan cahayanya. Keunikan kedua adalah sebuah batu yang membentuk lubang yang besar. Lubang yang sebesar pot bunga tersebut terbentuk karena terlalu sering ditetesi air dari masuk kedalam goa. Sekian lama akhirnya membentuk cekungan yang lebar seperti itu.

Pemandunya mengatakan itu adalah Kaca Benggalanya Mak Lampir sewaktu sembunyi di dalam goa. Ia adalah sebuah tokoh legenda yang menakutkan seperti nenek sihir menurut sebuah cerita persilatan di radio. Keunikan yang ketiga yang dikatakanan oleh pemandunya adalah sebuah batuan yang menggantung menyerupai alat kelamin laki-laki dan perempuan sehingga disebut Batu Kelamin. Ada mitos yang dikatakan oleh pemandunya pada batu kelamin ini yakni bagi siapapun yang belum mempunyai jodoh silakan memegang batu kelamin lawan jenisnya tersebut supaya nanti segera dapat jodoh.

Keunikan yang keempat masih di dalam Gua Pahat ini yakni sebuah batuan yang menggantung menyerupai sebuah pangkal paha ayam dan keunikan yang kelima adalah sebuah batu yang dapat mengeluarkan bunyi gong ketika dipukul sehingga disebut Batu Gamelan. Selain bebatuan yang unik di dalam goa, juga masih terdapat keluarga hewan landak yang tinggal dibawah celah batuan goa dan puluhan ekor kelelawar yang bergantungan di langit-langit goa. Ketika cahaya senter saya arahkan keatas, banyak sekali kelelawar hitam bergantungan memenuhi langit goa. Saya sungguh terpana dengan keunikan dari isi Goa Parat ini. Siapa saja yang melihat pasti sungguh tertarik!

Penjelajahan Goa Parat ini berakhir di tepi pantai. Tiba-tiba kami didatangi beberapa ekor kera. Spontan saja kami segera mengangkat tangan layaknya seorang tawanan yang menyerah. Sebab kami teringat akan perkataan pemandunya, angkat tangan sebagai tanda kepada kera tersebut bahwa kami tidak memiliki makanan. Padahal pemandunya sendiripun berusaha juga mengusir kera-kera tersebut agar tidak mendekati kami tetapi masih saja mereka menghadang jalan.

Sayup terdengar pemandunya mengatakan “Kera yang betina itu yang memiliki brewok dimukanya sedangkan yang jantan tidak ada.” Namun karena sudah takut didekati oleh kera-kera tersebut, penjelasannya tidak jadi dilanjutkan. Menyenangkan dan ada lucunya ketika sampai dibus hal ini malah jadi bahan tertawaan karena tingkah kami saat mengangkat tangan mengikuti apa yang dikatakan oleh pemandu tersebut.

Sebenarnya masih banyak yang ingin dijelajahi dari semua yang ditawarkan oleh cagar alam Pangandaran , namun belum dapat kami lakukan. Setidaknya ada kenangan yang dapat dibawa setelah menyusuri , melihat dan mengenal setiap kegelapan dan isi goa dan situs peninggalan Kerajaan Pangadaran. Mungkin di lain hari ada cerita lain dari tanah Pangandaran.

Pangandaran, 06 Maret 2011

Veronica Setiawati

Sunday, February 27, 2011

Jelajah Alam dan Budaya Bojonegoro

Rasanya senang bisa ikut berpetualang bersama crew televisi! Kali ini petualangan yang saya ikuti adalah menjelajahi alam dan budaya yang ada di Bojonegoro. Pasti masih bertanya koq bisa sih? Ya bisa lah kan saya menontonnya di televisi di acara JELAJAH Trans Tv , Minggu pkl 08.00 pagi lalu saya mencatatnya sebagai review dari tayangan tersebut. Ya mudahan-mudahan saja saya beneran bisa jalan-jalan bersama mereka berpetualangan menjelajahi alam dan budaya Indonesia. Namanya juga berharap selalu saja ada kemungkinan , ya kan?? ^.^

Tayangan perjalanan JELAJAH, diawali dengan meliput sebuah sungai yang terpanjang di Pulau Jawa yang juga membelah Kota Solo. Dengan sebuah gethek yang tebuat dari rakitan bambu, diceritakan sedikit sebuah sejarah tentang kisah seorang yang bernama Jaka Tingkir. Ia pernah melewati sungai Bengawan Solo ini menuju Demak. Namun, ditengah perjalanan ia dihadang oleh beberapa ekor buaya. Jaka Tingkir berhasil mengalah buaya – buaya tersebut dan dengan lancar berhasil memasuki Demak sehingga dapat menduduki tahta Demak. Sungai Bengawan Solo mempunyai dua hulu yakni di Wonogiri dan Ponorogo. Aliran sungainya menghidupi warga yang berada disekitarnya. Saat ini sudah mulai dirintis transportasi sungai dengan menggunakan gethek untuk menyusuri sungan sepanjang 548 KM.

Ada yang khas dari sebuah desa Sukoharjo yang dilewati sungai Bengawan Solo, yakni sebuah makanan khasnya. Namanya Jenanggununggudel, unik ya namanya.Pembuatannya pun masih tradisional dan menggunakan tenaga manusia. Jenanggununggudel itu seperti dodol. Bedanya dengan jenang atau dodol umumnya karena bahan dasarnya yang terbuat dari ketan. Selain itu kalau dimakan terasa kasar dan rasanya manis , oleh sebab itu orang sana menyebutnya Krasian. Cara pembuatannya adalah kelapa , beras dan gula merah ketiganya dimasak selama tiga jam lamanya. Sedangkan ketan , bahan dasar jenang ini disangrai atau digoreng tanpa minyak, selama 10 menit lalu digiling kasar. Setelah itu dimasak selama 30 menit kemudian dicampurkan dengan adonan kelapa, beras dan gula merah yang sudah dimasak sebelumnya diaduk hingga mengental. Kemudian jenang ini dibungkus plastik untuk dijual sebagai oleh-oleh. Harganya berkisar Rp 10.000 – Rp 20.000.

Lain halnya ketika berada disebuah desa Margomulyo , Bojonegoro yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disana terdapat sebuah desa yang bernama Desa Samin. Karena letaknya yang masih dikelilingi hutan seluas 740H dahulu digunakan sebagai tempat persembuyian tentara Jepang. Ada yang menyebut Desa Samin adalah sebuah kelompok suku. Menurut sejarahnya desa ini adalah tempat seorang yang dihormati bersama pengikutnya bernama Raden Kohar. Kemudian ia mengganti namanya menjadi Samin Suro Santiko, agar bisa lebih dekat dengan wong cilik. Ia memegang teguh prinsip hidupnya yang jujur, polos tetapi juga kritis ketika menghadapi penjajahan. Bentuk perlawanannya adalah dengan tidak membayar pajak! Adalah Mbah Harjo yang hanya dapat berbicara dalam bahasa Jawa , merupakan generasi keempatnya. Pakaian yang dikenakan Mbah Harjo pun sangat unik yakni dengan memakai ikat kepala warna hitam, baju hitam dan celana sebatas lutut berwarna hitam juga. Uniknya , jika ada tamu yang datang, tidak diperkenankan minum memakai gelas melainkan menegak langsung dari kendi.

Kalau di Sukoharjo ada pembuatan jenang, nah di desa Margomulyo ini ada juga sebuah tradisi turun temurun yakni pandai besi atau yang disebut Mandey. Alat-alat pertanian seperti cangkul dan arit dibuat sendiri. Bahannya terbuat dari baja. Untuk proses tempa dan pembakarannya membutuhkan waktu 45 menit. Sebelumnya baja tersebut di sepuh dahulu kemudian dikikir diasah sampai tajam. Lambat laun kerajinan ini mendatangkan penghasilan sendiri bagi warga sebab dapat dijual juga dengan kisaran harga Rp 25.000 – Rp 50.000 sesuai ukuran. Kekayaan alam yang lain dan masih tersimpan di Bojonegoro adalah sebuah sumber gas buminya. Wah, ternyata disebuah tempat yang jauhnya 21 km dari kota terdapat sumber api abadi yang menurut seorang peneliti dari Inggris , karangan api ini terbesar se Asia Tenggara! Bahkan sudah ada jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Di tempat tersebut juga pernah digunakan seorang Mpu sebagai tempat pertapaan. Keren banget kan??

Selain sumber alam gas bumi terdapat juga sumber minyak buminya! Disebuah desa Wonocolo masih di Bojonegoro, terdapat lokasi penambangan minyak bumi. Sumur-sumur minyak itu adalah peninggalan Belanda. Karena butuh modal yang sangat besar maka warga setempat menjalankan bisnis tambang minyak ini secara berkelompok dan tentu saja dengan alat-alat yang masih tradisional. Setiap orang masuk ke dalam sumur untuk menggali kedalaman sumur hingga 25 meter. Masing-masing orang diberi jatah masuk ke sumur adalah ½ - 1 jam. Wooww… luar biasa! Setelah dirasa cukup kedalamannya, ditanam sebuah pipa untuk memompa minyak keluar. Bisa saja minyak bercampur lumpur dan untuk membersihkannya membutuhkan waktu 2 – 1 tahun. Kalau minyaknya sudah bersih, dibawa ke sebuah tempat godokan tidak jauh dari pertambangan untuk dimasak menjadi minyak tanah atau solar.

Beberapa pembeli juga datang dengan membawa jeringen besar , penjualan minyak ini sampai keluar Kabupaten. Tercatat di desa ini, terdapat 74 unit sumur tambang minyak yang masih aktif dengan kapasitas minyak yang dihasilkan adalah 42.000 ltr per harinya. Luar biasa…luar biasa…

Ternyata, tanpa harus pergi dengan hanya menonton dari televisi, saya dapat melihat tempat-tempat yang unik di setiap daerah. Saya semakin ingin menjelajahi Indonesia dan bisa mendapatkan juga pengalaman yang unik dan mengherankan seperti ini di bumi pertiwi, Indonesia. Selamat Jalan-jalan!

Jakarta, 27 Februari 2011
Veronica Setiawati
http ://g1g1kel1nc1.blogspot.com
tulisan ini dibuat pada saat menonton acara JELAJAH di Trans TV pkl 08.00 pagi
Dengan catatan seperti ceker ayam ternyata bisa dirangkai menjadi satu cerita yang unik. Thanks Trans TV, bersamamu saya bisa ikut JELAJAH!^^

Monday, February 14, 2011

JELAJAH KOTA TOEA: PECINAN-GLODOK

Dalam rangka menyambut Cap Go Meh, kembali saya menyusuri kota toea Pecinan bersama teman-teman dari Komunitas Jelajah Budaya. Cap Go Meh jatuhnya 15 hari setelah perayaan IMLEK pada tradisi Tionghoa. Beberapa tradisi kuliner dan mitos yang ada dari perayaan IMLEK hingga Cap Go Meh , banyak saya dengarkan ketika mengikuti perjalanan menyusuri kawasan pecinan dengan berjalan kaki.

IMLEK adalah perayaan menyambut datangnya musim semi dengan tumbuhnya pohon MenHwa yang ditandai berkembangnya bunga-bunga dari pohon tersebut yang berwarna merah muda. Kemudian adanya jeruk yang dipercaya mendatangkan rejeki dan kemakmuran, ikan bandeng yang besar serta kue keranjang. Sebuah kepercayaan dikalangan warga Tionghoa yang merayakan IMLEK , jika dimalam tahun baru tersebut datang hujan maka akan mendatangkan rejeki serta kemakmuran yang berlimpah.

Bentuk rumah-rumah warga Tionghoa yang masih ada serta bisa dilihat di kawasan Pecinan pun tergolong unik. Mereka menutup rapat-rapat dan membuat teralis besi pada rumahnya dimaksudkan agar rejeki itu tidak kemana-mana atau tidak sampai keluar rumah. Selain itu jika diperhatikan, disetiap rumah warga , terdapat satu tempat doa lengkap dengan dupa dan sesajinya yang dibuat menempel pada dinding di dalam rumah ataupun dihalaman rumah. Tujuannya dibangun, sebagai tempat penghormatan kepada para leluhur ataupun para dewa sesuai keyakinan pemilik rumah tersebut.

Ada lagi yang menarik jika diperhatikan, yakni disetiap pintu masuk rumah terdapat benda-benda untuk menolak bala atau sesuatu yang mendatangkan sial masuk ke dalam rumah. Bentuknya macam-macam , ada yang bergambar sebuah mahluk yang seram bertaring ataupun sebuah kaca segilima dan bertulisan huruf china. Nah, bila ada sebuah rumah terletak posisi tusuk sate , seperti yang ada pada salah satu rumah warga Tionghoa ketika saya melihatnya , diatap rumah tersebut dipasangkan sebuah kendi . Dimana mulut kendi tersebut menghadap jalan didepan rumah. Tujuannya seperti halnya benda-benda yang dipasangkan pada pintu rumah , yakni untuk menghindari hal-hal yang tidak baik dan mungkin juga akan berpengaruh kepada rejeki dari sang penghuni rumah.

Pecinan juga indentik dengan rumah ibadahnya dimana mereka mengucapkan syukur kepada Tuhan. Di sebuah Klenteng atau Wihara dari Yayasan Bhudi Dharma , saya melihat beberapa lampion yang tergantung tetapi berjuntai kertas yang sebuah nama dari masing-masing lampion. “ Kertas itu bukan berisi nama-nama orang yang sudah tiada. Melainkan nama-nama dari mereka yang memberikan lampion ke tempat ini.” Jawab seorang bapak yang saya mintai keterangannya. “ Lampion ini sebagai tanda penerangan. Biasanya dipasang untuk dua hal, pertama untuk ulang tahun dan perayaan IMLEK.”

Selain wihara Budhi Dharma ada juga terdapat wihara Ariya Marga atau Lamceng Tee Bio . Letaknya disebuah gang kecil dan banyak terdapat tempat makan warteg di pintu masuk gang. Ada dua buah relief yang terdapat di pintu masuk wihara Tee Bio. Pertama sebuah relief seorang raja yang mengendarai kuda. Dimana replika dari kuda tersebut ada di dalam wihara. Dan relief yang kedua adalah gambara dari cerita tiga orang raja yang merupakan kakak beradik yang sedang bersengketa tetapi akhirnya dapat didamaikan oleh sang kakak. Mereka memperebutkan kedudukan dari sebuah pohon , dimana yang menjadi tempat terhormat bukanlah pada pucuk pohon tersebut melain pada akar dari pohonnya. Kurang lebih begitulah ceritanya.

Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi sebuah klenteng yang cukup tua yakni Klenteng Tang Seng Ong. Sewaktu saya mengikuti kegiatan yang sama sekitar tahun 2009, tempat ini masih dalam renovasi tetapi saat dikunjungi kembali menjadi sebuah klenteng yang sangat bagus. Bagian depan terdapat ruangan untuk berdoa di bagian belakang terdapat sebuah kolam ikan dan replika bunga teratai. Patung yang dipajang diatas sebuah altar doa, dekat kolam ini adalah tiga tokoh penting yakni Sang Budha yang diapit oleh Dewi Kuam In dan Biksu Tong dalam cerita Kera sakti.

Relief tiga lelaki yang ada di depan kolam pun mempunyai arti umur panjang symbol dari lelaki tua berjanggut putih, lelaki yang ditengah menjadi symbol sandang pangan dan lelaki yang menggendong bayi adalah mempunyai anak dan cucu. Tak kalah menariknya sebuah relief dari atap klenteng yang berupa sepasang naga. Naga menurut kepercayaan mereka adalah seekor hewan yang sangat sakti dan pelindung.

Sebelum menuju Klenteng Tang Seng Ong, terdapat sebuah sekolah, di lihat dari depan pintu gerbangnya masih merupakan bangunan lama. Di sekolah ini dahulu digunakan sebagai sebuah organisasi modern di Batavia bernama Tiong Hoa Hwee Koan ( Perkumpulan Tiongoa ) yang merupakan reaksi masyarakat Tionghoa terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang tidak memberikan pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Akibat pesatnya perkembangan dari sekolah ini maka pemerintah kolonial Belanda menjadikan bangunan sekolah ini sebagai sekolah berbahasa Belanda ( HCS ). Namun setelah pemerintahan Orde Baru bangunan diambil alih dan dirubah namanya menjadi SMU 19.

Selain sekolah juga ada sebuah rumah yang sudah menjadi cagar budaya karena fisik bangunannya yang sudah lama. Atap bangunannya menyerupai ekor walet yang menandakan status sosial yang cukup berada di Batavia bagi kaum Tionghoa sedangkan bagi kebanyakan atap rumah warga Tionghoa berbentuk pelana kuda. Walaupun mungkin di negeri asalnya tidak ada perbedaan bentuk bangunan untuk mereka yang berbeda status sosialnya.

Kawasan pecinan Glodok yang terkenal adalah Petak Sembilan. Dari sebuah kawasan yang dahulu merupakan kawasan perdagangan dengan sembilan petak dikenalah dengan nama Petak sembilan. Klenteng yang terkenal dan cukup tua adalah Jin De Yuan dan Toasebio bahkan sampai sekarang banyak dikunjungi untuk berdoa ataupun sebagai tempat wisata. Ada juga sebuah gereja bergaya Tionghoa bernama “Gereja St. Maria de Fatima”. Pada tahun 1949 China jatuh ke tangan komunis sehingga ditinggalkannya tempat dataran China, banyak dari orang-orang China sendiri yang pergi dari negaranya termasuk juga para Jesuit yang ada disana kemudian masuk ke Batavia.

Dari sebuah buku mengenai sejarah 50 tahun Gereja St. Maria De Fatima , di sebut pada tahun 1953 dibelilah sebidang tanah di daerah pecinan dengan seluas satu hektar yang meliputi kompleks Gereja hingga pagar tinggi di sisi belakang dan kompleks sekolah Ricci I sekarang ini, tanah tersebut dibeli dengan harga Rp. 3.000.000,00 dari seorang kapitan (sebutan untuk seorang Lurah keturunan Tionghoa di Zaman penjajahan Belanda) bermarga Tjioe. Ia adalah seorang bangsawan Cina yang kaya raya. Pembayaran tanah tersebut dibayar dengan cara mengangsur.

Barulah pada tahun 1954 ketika Pater Matthias Leitenbauer SJ tiba di Jakarta, tanah dan bangunan di atasnya resmi menjadi milik gereja. Nama St de Fatima diambil dari sebuah cerita tentang penampakan Bunda Maria kepada tiga anak gembala seperti yang tergambar dalam relief gua maria di samping gereja.

Di depan bangungan utama tersebut terdapat dua buah patung singa, yang mana patung singa itu merupakan lambang kemegahan bangsawan Cina. Konon di halamannya yang luas terdapat pula pohon sawo kecik dan pendopo joglo berlantai tinggi dan tanah tersebut di kelilingi pagar bertembok tinggi.

Perjalanan diakhiri di Museum Mandiri dimana awal perjalanan dimulai dan juga sebagai tempat berkumpulnya para peserta Jelajah Kota Toea. Museum Mandiri sendiri merupakan bangunan tua dan bersejarah. Dahulu bernama NHM ( kantor dagang maskapai ) milik Pemerintahan kolonial Belanda. NHM ini didirikan pada tahun 1929 dan diresmikan pada tanggal 14 Januari 1933 oleh Presiden NHM. Cirinya ada terdapat lukisan kaca patri. Saya dan peserta diajak berkeliling mengenal Museum Mandiri yang banyak terdapat koleksi dan diorama dari kejayaan tempo dulu dimana tempat ini digunakan sebagai tempat penyimpanan asset berharga para warga Belanda di Batavia seperti yang terdapat di sebuah ruangan safe deposit. Loker, pintu baja yang sangat tebal , emas , juga sel-sel jeruji seperti dalam penjara menggambarkan suasana saat para nasabah dan petugas di bagian ini menyimpan dengan baik asset yang dipercayakan.

Hiburan diawal perjalanan yang menyenangkan ketika pertunjukan barongsai , sebuah tradisi kesenian Tionghoa di mulai. Musik khas yang dipukul dan dentuman lempengan piringan menambah suasana semakin meriah. Beberapa orang memasukan angpao ke dalam mulut barongsai tersebut. Sedangkan penutup acara , dijelaskan situasi dan tempat-tempat dari berbagai kota tempo dulu dari sebuah film dokumenter.

Menyenangkan bisa ikut kembali di kegiatan keliling menyusuri sejarah Kota Toea di Jakarta. Walaupun acara ini merupakan kedua kalinya pada event yang sama tetapi ada saja hal yang menarik yang baru dan mungkin belum ada pada perjalanan saya sebelumnya. Sehingga hal tersebut dapat menjadi suatu informasi yang menarik dan menambah wawasan yang baru bagi saya pribadi. Terima kasih Komunitas Jelajah Budaya .. semoga setiap orang yang ikut dalam event yang diadakannya membuat mereka termasuk saya pribadi semakin peduli akan budaya serta sejarah bangsa Indonesia, bangsanya sendiri.

Jakarta, 13 Februari 2011

Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com

Tuesday, February 08, 2011

Bedah Buku dan Review Museum di Indonesia

“Museum merupakan sebuah nama yang singkat. Akan tetapi, ditinjau dari pengelolaannya, nama ini tidak sederhana. Jika dikaitkan dengan konteks masyarakat dan Negara , nama museum justru semakin kompleks. Museum di beberapa Negara telah berkembang menjadi sebuah lembaga yang tidak dapat diabaikan keberadaannya karena telah menjadi tempat yang berperan penting bagi masyarakat Negara tersebut.”
Demikianlah yang tertulis pada awal paragraph Bab I dari sebuah buku yang berjudul Museum di Indonesia , Kendala dan Harapan karya Dr. Ali Akbar seorang dosen Arkeolog yang awal mulanya turut membantu mengatur tata letak dari Museum Bahari.

Kendala yang dialami oleh museum menurutnya pada sebuah acara bedah buku di Museum Mandiri, ditinjau dari definisinya adalah Museum di Indonesia dianggap sebagai tempat menyimpan barang saja. Sedangkan di beberapa Negara , museum adalah tempat yang berguna bagi masyarakatnya karena memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelajar , tempat interaksi, sebuah komunitas dan sebagi media komunikasi. Buku ini juga mengulas beberapa museum di luar negeri seperti Jerman, Belanda , Pracis , Belgia , India , Malaysia , SIngapura dan Vietnam dari hasil observasinya untuk mengkaji dan dicarikan jalan keluar dari kendala-kendala yang dihadapi oleh museum-museum di Indonesia.

Beberapa pandangan negatif masyarakat umum di Indonesia mengenai museum adalah kuno , kusam , ketinggalan jaman, seram, tempat yang terlalu serius , sia-sia karena tidak akan mendapatkan apa yang diharapkan, sepi sehingga dapat dijadikan untuk lokasi pacaran dan lain sebagainya. Termasuk dengan perkataan bagi pegawai yang dimutasikan ke bagian lain atau dianggap dibuang menyebutnya “dimuseumkan” Oleh sebab itu , sangat diharapkan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki museum dapat merubah cara pandang masyarakat mengenai museum itu sendiri.

Apa saja yang menjadi kendala dari museum –museum yang diIndonesia juga dipertanyakan juga oleh beberapa orang yang hadir adalah sumber daya yang dimiliki oleh museum tersebut. Jawaban penulis buku ini membuat saya terus mengiangnya ketika membahas mengenai pengawai yang pensiun dari museum. Ia menjawab bahwa disebuah museum di luar negeri tanpa menyebut nama museumnya, pegawai yang akan pensiun tidak akan duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun, melainkan berfikir karya apa yang akan diberikan olehnya sebelum pensiun untuk museumnya. Oleh sebab itu pegawai itu akan melakukan sesuatunya tidak diam saja sampai waktu pensiunnya tiba.

Memang, belum diketahui apa sebenarnya yang diingini masyarakat tentang museum juga rasa bangganya mereka yang telah bekerja di museum. Mungkin hal-hal seperti ini dapat dimulai dari museum itu untuk bercerita atau membagi pengalamannya kepada umum sehingga sedikit membuka pikiran masyarakat umum mengenai kondisi atau harapan terhadap museum selanjutnya.

Sudah mulai banyak orang-orang yang tertarik untuk berkunjung ke sebuah museum. Namun kadang dimuseum tersebut tidak ada seseorang yang memandu para pengunjung untuk memperkenalkan isi dari museum tersebut. Sehingga pengunjung hanya mendapat sedikit informasi dari barang-barang yang dikoleksi museum atau hanya sekedar mampir saja. Ada juga di bahas dibuku ini, jam-jam yang diberlakukan sebuah museum hanya terbatas sampai jam 5 sore.Mungkin dapat diberlakukan suatu saat nanti ada waktu kunjungan sampai malam.

Bedah Buku mengenai Museum di Indonesia tentang Kendala dan Harapannya adalah sedikit cara yang digunakan untuk membuat saya dan teman-teman yang belum mengenal museum untuk lebih mencintai museum. Sehingga Museum bukan lagi sebuah tempat tanpa makna tanpa pengujung semakin jauh dan dilupakan orang.

Terakhir , saya kutip tulisan dari buku ini sebagai penutup tulisan saya :
“Museum masa kini adalah sebuah system yang kompleks yang sulit dikerjakan oleh satu atau dua orang saja. Belum tentu museum yang pengelolanya lebih banyak akan lebih baik dibandingkan museum yang pengelolanya lebih sedikit. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai pengelolaan museum yang hakiki adalah motivasi dan empati pada koleksi ditambah tanggung jawab pada organisasi, teamwork yang kuat serta integritas yang tinggi untuk memberik manfaat bagi masyarakat.”


Jakarta , 06 Februari 2011
Veronica Setiawati

Note :
* Judul buku Museum di Indonesia - Kendala dan harapan
• Penulis : Dr. Ali Akbar
• Penerbit Papas Sinar Sinanti – Anggota IKAPI Jakarta 2010

Friday, February 04, 2011

Suasana Imlek Dari Pecinan Kota Tua Hingga Bogor.

Perayaan Imlek yang memasuki tahun Kelinci , sangat meriah ya mungkin menurut beberapa orang sih tidak seramai tahun-tahun yang lalu. Nuansa warna merah memenuhi kawasan pecinan Petak Sembilan. Sekumpulan para pencari berita sudah berada disana entah sejak kapan. Hilir mudik orang-orang yang akan sembahyang dan mereka yang meliput serta hanya ingin mengabadikan beberapa photo suasana Imlek memadati sebuah klenteng yang cukup terbilang tua usianya.

Pedih mata saya karena asap dari kertas-kertas doa yang sudah dibakar membuat saya menyingkir dari klenteng tua tersebut. Tidak jauh , ada sebuah klenteng yang lain, tidak terlalu besar dan tidak padat yang mengunjungi. Namun di halamannya berjejer para pengemis yang menanti angpau. Di tempat ini teman saya lebih leluasa untuk mengambil beberapa photo. Cukup banyak turis asing yang datang mengunjungi klenteng tua ini.

Selepas dari klenteng tua , menyusuri sepanjang jalan Petak Sembilan lalu singgah pada sebuah Gereja tua bergaya Tionghoa. Tidak seramai di klenteng tua itu, tetapi ada beberapa turis asing yang juga singgah disini. Gereja ini tertutup dan tidak ada seorangpun yang dapat masuk ke dalamnya. Begitu juga dengan sebuah vihara yang lain tidak jauh dari Gereja. Hanya beberapa orang yang hendak bersembahyang yang ada terlihat di sana. Sepanjang jalan yang kami lalui pun tidak macet oleh kendaraan seperti hari-hari biasa. Lewat sebuah gang , perjalanan kami lanjutkan menyusuri sepanjang jalan pasar pagi lama.Toko-toko banyak yang tutup dan sedikit lengang.

Tidak demikian ketika berada di lorong yang menghubungkan antara stasiun dan halte bustransjakarta. Ramai sekali dilorong , hujan gerimis yang sempat datang juga semakin menambah jumlah orang. Kemudian kami memutuskan untuk ke Bogor dengan kereta. Sesampainya di kota Bogor, kedatangan kami disambut hujan. Biarpun begitu, stasiun Bogor sangat penuh sesak dengan para penumpang yang akan meninggalkan atau baru saja sampai di Kota Bogor.

Disebuah mall yang tidak jauh dari Tugu Kujang Kota Bogor. Ketika berada di sebuah store yang menjual aneka bahan hasil karya mahasiswa IPB, ada sebuah pertunjukan barongsai. Musik keras dari sebuah alat yang dipukul menggemakan isi ruangan. Seekor ular naga yang dibawa oleh beberapa orang menghampiri store dimana kami berada untuk mengambil Angpao ( amplop merah ) yang tergantung di di rolling door store. Tidak lama muncul dua buah barongsai warna merah dan kuning.

Seketika itu juga penuh orang mengelilingi store yang tidak jauh dari pintu masuk ini. Mereka mengabadikan moment menghibur dengan dengan kamera handphone dan saya pun tidak ketinggalan. Beberapa adegan lucu dari tarian barongai seperti ketika akan mengambil amplop merah namun tidak kesampaian. Beberapa kali mencoba akhirnya angpao tersebut dapat diraih oleh mulut sang barongsai merah. Kalau yang warna kuning hanya meliuk liuk diantara pengunjung dan dipakai untuk berfoto oleh sebagian pengunjung. Namun, setelah angpao sudah diterima mereka berjalan lagi menuju store yang lainnya.

“ Selamat Tahun Baru Imlek “
Jakarta –Bogor, 03 Februari 2011
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com

Friday, January 28, 2011

Bermain Tutup Mata DI Jogya

Menjelang tengah malam, ketika setiap orang terlelap dan rumah terkunci oleh penghuninya, kami melangkahkan kaki menuju alun-alun kota Jogya. Masih ramai dengan orang-orang yang bermain tutup mata ketika kami sampai di alun-alun.

Dua buah pohon beringin yang berada di tengah alun-alun selatan kota Jogja inilah yang membuat tempat ini menjadi menarik untuk dikunjungi. Sebabnya , ada sebuah mitos yang beredar bahwa jika setiap orang yang dapat melewati jalan yang diapit oleh kedua pohon beringin tersebut maka keinginannya dapat terwujud. Terserah bagi setiap orang yang ingin mempercayainya atau tidak, tetapi bagi saya dan teman-teman, menjadi sebuah permainan tantangan yang menarik.

Di tengah keramaian , saya mengamati setiap orang yang ditutup matanya, mereka mencoba berjalan menuju jalan yang ada di tengah kedua pohon beringin tersebut, namun sedikit orang yang berhasil melewatinya. Akhirnya saya dan teman-teman mulai mencobanya.

Pertama yang mencoba adalah dua orang teman saya, mata mereka ditutup dengan kain dan benar-benar dipastikan tidak melihat sekelilingnya. Lalu, mereka saya tempatkan agak jauh dari pohon beringin tetapi berhadapan lurus dengan jalan ditengah pohon beringin tersebut. Ketika aba-aba mulai dari saya , mereka berdua berjalan menuju pohon beringin tersebut dengan feeling mereka. Saya dan seorang kawan , mengatur jalan di depan mereka agar tidak menabrak orang-orang yang juga bermain tutup mata seperti kami.

Ketika mendekati tembok yang memagari kedua pohon beringin tersebut. Kedua teman saya ini berpisah. Teman yang satu berbelok ke kanan , menuju lapangan sepak bola dan teman yang satunya ke kiri. Tetapi dua-duanya berhenti dimana mereka merasa yakin telah sampai ditengah jalan diantara kedua pohon beringin. Begitu kain dibuka dan mata mereka melihat sekelilingnya ternyata jauh dari pohon beringin tersebut. Kejadian tersebut malah membuat mereka semakin penasaran untuk mencoba lagi. Menurut berita yang simpang siur sih, katanya kalau berjalan kea rah kanan berarti hidupnya masih memikirkan lawan jenisnya dan kalau berjalan kea rah kiri adalah harta atau uang. Entahlah saya sendiripun belum mendapat jawaban yang pasti mengenai kedua arti tersebut.

Penasaran juga, akhirnya saya mencobanya. Deg degan rasanya begitu mata ditutup kain dan kaki mulai berjalan. Saya meraba-raba jalan didepan saya. Rasanya begitu sunyi , padahal sekeliling saya itu sangat ramai. Denger sih teman-teman saya bicara didepan jalan saya tetapi kemudian sunyi. Aduuh, saya sempat ragu untuk melanjutkan kaki saya melangkah. TIba-tiba saya tidak konsentrasi , saya merasa takut salah dengan jalan yang akan saya lalui.

Begitu saya lanjutkan kembali melangkah, ternyata saya menabrak tembok dan entah berjalan kemana lagi. Saya merasa sudah selesai kaki melangkah ternyata malah berada di tengah lapangan tidak jauh dari tempat awal saya mulai berjalan.Menurut teman-teman, saya sebenarnya sudah sampai ditengah tetapi berhenti lalu berjalan kea rah kiri hingga akhirnya hanya muter-muter di tengah lapangan.

Entahlah , kalau menurut saya sih begitu kaki mendekati kedua beringin tersebut langkah tiba-tiba berhenti. Hal yang sama , juga terjadi kepada beberapa orang selain teman-teman saya. Tetapi ada juga yang melonjak kegirangan begitu dia berhasil melewati jalan di tengah beringin. Teman saya pun setelah beberapa kali mencoba akhirnya bisa melewatinya.

Pengalaman yang unik dan mendebarkan, sebuah permainan yang mengesankan buat kami selama berada di Jogja. Memang kota Jogya selalu menawarkan pesona yang membawa setiap orang yang datang untuk selalu datang lagi.

Jogja , the most lovely city, 19 Juli 2009
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogpsot.com
Facebook Page : Catatan Perjalanan

thanks to: mas Gatot Photo-photonya juga kiwir,pinok,resti,lilis dan rakha untuk liburan yang gila dan heboh selama ke jogja:)
Link Foto cek di http://g1g1kel1nc1.multiply.com/photos/album/91

Friday, January 21, 2011

Perternakan Kordero - Bogor

Hari masih siang setelah selesai dari Pura Jagatkarta dan saya masih enggan untuk kembali ke Jakarta. Setelah makan, kami menuju sebuah perternakan kambing etawa. Letaknya sih tidak jauh dari Jalan Raya Ciapus, Tamansari.Kami diberitahukan oleh ibu penjual warung makan sebuah jalan pintas menuju peternakan kambing tersebut.

Peternakannya sederhana dengan bangunan yang sebagian besar menggunakan kayu, baik itu untuk kandang kambing maupun untuk sebuah rumah tinggal tepat di depan kadang kambing. Selain peternakan kambing, ada juga terdapat peternakan sapi. Seorang pemuda menerima kedatangan kami bertiga dengan baik. Dari seorang bapak yang bertugas di peternakan , pemuda itu adalah manajer peternakan,lulusan D3 jurusan Peternakan IPB, namanya Mas Eko.

Ada sebuah kandang yang besar tertutup kawat dan berisi anak-anak kambing. Kandang tersebut ternyata diberikan pembatas atau sekat kayu tetapi ada pintu kecil sebagai penghubung sekat yang satu dan lainnya. Sekat pertama adalah untuk kumpulan anak kambing yang baru lahir. Saat mereka lahir, anak kambing tersebut sudah dipisahkan dari induknya lalu digabung dengan anak kambing lainnya dalam satu kandang.

Di dalam kandang , dibuatkan juga satu kandang kecil bertumpuk jerami sebagai tempat dikumpulkannya anak-anak kambing ketika mereka akan diberi susu.Tinggi pintu kandang kecil itu setinggi pinggang orang dewasa. Nanti ketika jadwalnya menyusui, anak-anak kambing tersebut diangkat oleh petugasnya lalu diberi susu satu persatu. Untuk jadwal pemberian susu adalah pkl 06.00 dan pkl 15.00.

“Ada beberapa orang yang membantu saya menyusui anak-anak kambing tersebut. Tetapi jika mereka sibuk mencari rumput untuk pangan kambing atau sedang melakukan tugas yang lain, ya saya mba yang memberikan mereka susu.” Kata Mas Eko

“Sekitar 15 liter susu sapi yang diperlukan untuk menyusui anak-anak kambing itu mba setiap jadwalnya menyusui” Begitulah yang dijelaskan Mas Eko kepada saya, Mutia dan Ida.

Tidak lama, Mas Eko meninggalkan kami untuk memeras susu sapi yang letaknya tidak jauh dari kandang anak kambing. Sebab sudah waktunya memberikan susu kepada anak-anak kambing yang memiliki daun telinga yang panjang ini. Sebanyak tiga liter susu sapi yang dihasilkan dari setiap perasan yang tanpa menggunakan alat bantu. Hasil perasan susu sapi tersebut dikumpulkan dalam sebuah ember kecil. Kemudian ember yang berisi susu sapi tersebut, diberikan putih dan kuning telur ayam sebanyak dua butir lalu diaduk rata. Setelah itu susu sapi dituangkan ke dalam botol susu , hanya sayangnya jumlah botol susu tersebut hanya 3 buah yang digunakan untuk menyusui sekitar 54 ekor anak kambing dengan berbagai usia.

Saya dan Mutia membantu menyusui anak-anak kambing dari botol susu yang sudah diisi susu sapi. Menyenangkan sekali dan baru kali ini saya merasakan menyusui anak-anak kambing yang tidak pernah menyentuh ataupun meminum susu dari puting susu induknya sendiri. Saya sendiri sangat kewalahan karena agresifnya anak-anak kambing ini menghabiskan susu. Mereka sangat kuat menyedot karet yang ada dibotol susu seperti sedang kehausan mereka menghabiskan isi botol dalam waktu singkat.

Dalam pemberian susu ada takarannya sendiri. Untuk anak kambing yang ada di sekat pertama karena usinya masih bayi, maka tiap anak kambing diberikan hanya satu botol susu sapi. Untuk yang ada di sekat kedua, usianya sekitar dua bulanan maka diberikan 1 ½ botol susu. Di sekat yang ketiga , karena usianya sudah lebih dari tiga bulanan diberikan dua botol susu. Nah, untuk anak kambing yang sudah menyusui, mereka dipisahkan dan dikumpulkan di sekat sebelah kadangnya yang sudah kosong, Setelah semua sudah minum susu, anak-anak kambing tersebut digiring masuk kembali ke dalam kandang kecilnya, begitupun dengan anak kambing di kandang berikutnya.

Saya melihat ada seekor anak kambing yang tidak lincah dan hanya terdiam dipojok kandang kecil ketika diangkat dan diberikan susu juga tidak menghabiskannya seperti yang lainnya , sepertinya sedang sakit. Kasihan kalau ada anak kambing yang sakit , akan diberikan obat-obat seperti yang biasa dikonsumsi manusia. Karena dokter hewan juga tidak ada dan Mas Eko juga merangkap sebagai dokter untuk mengobati mereka.
Selain kandang anak-anak kambing yang lucu-lucu nan menggemaskan itu, ada juga kandang khusus para pejantan dan betinanya. Kandangnya sangat bersih karena memang selalu dibersihkan setiap hari jadi tidak akan mencium bau yang menyengat. Selain itu, selalu tersedia pangan buat kambing-kambing etawa ini. Ada lima pejantan yang tersedia dan siap membuahi para betinanya.

“Banyak suka dukanya mba ketika merawat kambing-kambing ini. Pernah saya ditendang ketika memandikan mereka.” Cerita Mas Eko kepada kami.

“Tiap hari saya memandikan, selain itu juga merawat yang sakit, memberikan makan, membersihkan kandang, membantu melahirkan kambing betina. Jika ada pejantan yang sedang masa pembuahan saya juga harus tahu termasuk memilih betinanya untuk dikawinkan.” Kami jelas terheran-heran dengan apa yang diljelaskan oleh Mas Eko keseluruhan tugasnya di peternakan Kordero ini. Luar biasa..

Menurut Mas Eko, untuk kambing betina yang baru melahirkan, sekitar sepuluh hari kemudian baru dimandikan dan itupun tergantung cuaca. Sebabnya mencegah timbulnya sakit /demam pada kambing betina itu sendiri. Setiap hari juga , kambing betina menghasilkan susu perasan sebanyak tiga liter. Hasil susunya banyak untuk dijual tetapi untuk fragmentasi belum dilakukan karena keterbatasan alat. Kambing etawa ini tidak dijual melainkan khususkan untuk dikembangbiakan populasinya.

“Pernah dibawakan bibit pejantan dari luar negeri mba, tetapi adaptasinya kurang bagus , tidak bertahan lama di tempat ini dan akhirnya mati.” Demikian penjelasan Mas Eko ketika ia menunjukkan tempat kandang pejantan.

Ada satu pejantan yang sudah menghasilkan pejantan yang lain, nama kambing itu adalah Rocky. Tubuhnya sangat besar , sayapun kaget melihat postur tubuhnya yang besar dan tinggi. Anaknya pun tidak jauh berbeda dan diberi nama Danny. Rocky dan Danny serta tiga penjantan lainnya dipersiapkan untuk menghasilkan bibit – bibit yang bagus untuk perkembangan kambing etawa selanjutnya , yang menurutnya sih sudah tidak ada lagi dinegeri asalnya , India.

Sebelum pulang, Ida dan Mutia membeli susu kambing yang sudah dibungkus dan didinginkan berlabel Kordero, nama dari peternakan kambing ini. Perjalanan yang tidak disangka. Bermula hanya iseng ingin membeli susu kambing ternyata dari tempat sederhana ini , kami mendapat pengetahuan yang sangat penting dan berharga. Tidak akan pernah lupa pengalaman yang luar biasa dari peternakan kordero , Bogor.

Bogor, 01 Januari 2011
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com
mail to : g1g1kel1nc1@yahoo.com.au
Foto-foto perjalanan kami di bogor : http://www.facebook.com/profile.php?id=1529778501#!/album.php?id=1529778501&aid=2098804
Note : all pictures are belong to Tarmidah Sumargo

Gereja Sion Dan Kawasan Kota Tua Disekitarnya

Selain mengenal Kampung Pecah Kulit, saya diperkenalkan juga oleh Komunitas Jelajah Budaya tempat-tempat yang bersejarah lainnya. Awal perkenalan saya adalah dengan sebuah gedung Bank Mandiri yang kantornya masih aktif sampai sekarang. Tidak masuk ke dalam gedung, tetapi diluar gedungnya saja tepatnya persis disebelah halte bus transjakarta Kota.

Di jelaskan disana, pada masa pemerintahan Belanda , banyak dibangun gedung yang menjadi tempat penyimpanan uang/bank untuk para warganya yang ada di Batavia. Termasuk salah satunya adalah Kantor Nederlandsche Handel Mastchappij ( NHM ) yang dibangun pada tahun 1929 dan diresmikan tanggal 14 Januari 1933 oleh Dr. C.J.K van Aaalst , presiden NHM ke-10. Mereka yang hendak menyimpan uangnya , dahulu melakukannya dengan melewati kalibesar sebagai jalur transportasi yang murah , cepat dan vital. Karena daerah diseberang kalibesar hanya dipergunakan sebagai kawasan pergudangan.

Selanjutnya perjalanan jelajah kota tua ini, saya lanjutkan melewati Stasiun Jakarta Kota atau lebih dikenal dengan sebutan Stasiun Beos yang memiliki arsitetur bangunan yang menarik dan merupakan salah satu cagarbudaya. Nama Beos sendiri terdapat beberapa versi. Pertama, berasal dari kependekan kata Batavia Ooster Spoorweg Maatschapij ( BOSM = Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur ). Versi lain kata Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken yang artinya Batavia dan sekitarnya, dimana stasiun yang menghubungkan stasiun lain seperti Bekassie ( Bekasi ) , Buitenzorg ( Bogor ) , Parijs van Java ( Bandung ), Karavam ( Karawang ) dll. Perancang Stasiun ini adalah seorang arsitek Indo-Belanda kelahiran Tulungagung,8 September 1882 , bernama Frans Johan Louwrens Ghijsels. Secara resmi digunakan pada tanggal 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan dengan penanaman kepala kerbau di dalam ruangan gedung dan satunya lagi di tengah jalan antara stasiun dan tugu jam.

Tidak jauh dari stasiun kota , ada sebuah gereja tua yang berada diujung jalan Jayakarta yakni Gereja Sion. Gereja sion adalah salah satu gereja tua yang ada di kota Jakarta dan salah satu cagarbudaya yang dilindungi. Padahal sering sekali dilewati karena terletak di tepi jalan raya namun hanya bersama Komunitas Jelajah Budaya inilah saya pertama kalinya memasuki gereja tersebut.

Halamannya luas dan terdapat beberapa makam seperti makam yang ada di Museum Taman Prasasti. Bentuknya memanjang , tiap sudutnya ada handle yang berbentuk lingkarang terbuat dari besi yang kuat dan kalau diperhatikan ada nomornya juga diatas makam tersebut. Menurut, salah seorang jemaat gereja yang menjadi narasumbernya, mengatakan halaman ini dahulunya merupakan tempat makam dan luas sampai ke sebrang jalan. Tetapi sejak tahun 1960, makam-makam tersebut dipindahkan ke pemakaman yang ada di Tanah Abang ( Museum Prasasti ) karena makam-makam tersebut diperluas menjadi halaman untuk parkir gereja. Sekarang hanya terdapat 13 makam. Dahulu, makam-makam yang ada di halaman gereja tersebut menjadi symbol dari tingkatan sosial. Karena yang dimakamkan dihalaman gereja tersebut dari berbagai tingkatan sosial. Ada seorang Gubernur Jendral tetapi ada juga rakyat biasa.

Gereja Sion ini dibangun dengan 10.000 tiang kayu pilihan dan setelah selesai pembangunannya digunakan oleh Mardjiker atau orang Portugis yang dimerdekakan. Gereja Sion merupakan Gereja Portugis yang dibangun oleh Belanda untuk orang-orang Portugis yang menjadi tawanan VOC, setelah Portugis tidak berkuasa lagi diwilayah jajahannya. Awalnya gereja ini bernama Portugese Buitenkerk yang artinya Gereja Portugis diluar tembok pemerintahan kota Batavia. Lambat laun, gereja ini digunakan oleh Belanda sedangkan warga Mardjiker tersebut dipindahkan ke Kampung Tugu.

Lalu Gereja Sion dikelola oleh GPI ( Gereja Prostestan di Indonesia ). Karena wilayah pelayanan GPI pada bagian barat di Indonesia, maka pada tahun 1957 pada persidangan sinode, Gereja Portugis ini berubah menjadi nama GPIB Jemaat Sion. Nama Sion sendiri berasal dari bahasa Ibrani yang berarti sebuah bukit yang menjadi lambang keselamatan.

Selain itu dijelaskan juga oleh narasumber gereja ini ,bahwa perkembangan awal gereja portugis ini berasal dari Indonesia bagian timur terutama di Maluku, Sulawesi ke bagian utara dan Nusa Tenggara Timur . Ada sebuah kisah dimana,pada masa penjajahan Jepang, Gereja Sion ingin dijadikan tempat penyimpanan abu tentara Jepang yang gugur. Tetapi keinginan tersebut tidak terjadi dan Gereja Immanuel yang dipakai untuk menyimpan abu.

Bangunan Gereja Sion ini sangat unik. Bentuknya seperti kotak jika diperhatikan dan sederhana. Menurut salah seorang jemaat Gereja ini tidak mengalami perubahan apapun termasuk interiornya. Pintu masuk hanya satu dengan dua buah daun pintu yang lebar dan diapit dua buah tiang yang kokoh.Diatasnya tertulis usia dari Gereja Sion dan diatas tulisan terdapat salib yang besar. Kiri dan kanan pintu masuk, terdapat dua buah jendela ,simetris serta di ujung atas jendela terdapat symbol hati / love.
Bagian dalam gereja , terdapat beberapa kursi berukiran sangat bagus berwarna hitam.

Masih kokoh dan awet padahal usianya sudah ratusan tahun. Bagian belakang , masih di dalam gereja, terdapat sebuah prasasti peringatan mengenai cerita lengkap pemberkatan gereja ini yang tertulis dalam Bahasa Belanda dan masih bisa dilihat didinding gereja. Gereja Sion dibangun hampir dua tahun dan peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn atas perintah Ketua Dewan Gereja Joan van Hoorn, yang kemudian hari menjabat sebagai Gubernur Jendral VOC ( 1704 – 1709 ). Gereja tersebut kemudian diresmikan oleh Pendeta Theodorus Zas pada tanggal 23 Oktober 1695 pada hari Minggu.

Persis di sebelah prasasti gereja, terdapat sebuah tangga menuju sebuah balkon yang disangga empat tiang. Ternyata diatas sana itu ada sebuah alat musik orgen atau orgen seruling . Ketika saya bertanya dengan salah seorang jemaat disana, ternyata alat musik itu masih digunakan. Orgen tersebut merupakan pemberian seorang puteri pendeta bernama John Maurits Moor.

Selain itu , mimbar yang terdapat di Gereja SIon unik sekali seperti mahkota raja. Mimbar yang bergaya Barok, bertudung kanopi dan dua tiang penyangga dan empat tonggak perunggu. Kalau diperhatikan, terdapat jejeran bangku-bangku yang menghadap bangku jemaat yang di bagian tengah. Dahulunya , ditempat itu adalah tempat duduknya para bangsawan Belanda ketika mengikuti ibadat di dalam gereja ini. Tiang-tiang penyangga gedung gereja ini sangat kokoh termasuk juga kayu-kayu yang ada di atap gereja. Warna – warna seperti coklat, hitam dan krem membuat tempat ini terlihat sederhana tetapi menarik.

Bagian belakang gedung, terdapat sebuah lonceng. Entah masih berfungsi atau tidak, penyangganya terbuat dari kayu dan ditarik dengan seutas tali. Kalau menurut saya, fungsinya sebagai tanda untuk memulai ibadat ataupun sebagai tanda kedatangan jenasah, sebab halaman gereja dulunya merupakan sebuah makam.

Jakarta, 16 januari 2011
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com
mail to : g1g1kel1nc1@yahoo.com.au
Fage Facebook : Catatan Perjalanan
*thanks to : Komunitas Jelajah Budaya*