Kraukk.com

728 x 90

Friday, January 28, 2011

Bermain Tutup Mata DI Jogya

Menjelang tengah malam, ketika setiap orang terlelap dan rumah terkunci oleh penghuninya, kami melangkahkan kaki menuju alun-alun kota Jogya. Masih ramai dengan orang-orang yang bermain tutup mata ketika kami sampai di alun-alun.

Dua buah pohon beringin yang berada di tengah alun-alun selatan kota Jogja inilah yang membuat tempat ini menjadi menarik untuk dikunjungi. Sebabnya , ada sebuah mitos yang beredar bahwa jika setiap orang yang dapat melewati jalan yang diapit oleh kedua pohon beringin tersebut maka keinginannya dapat terwujud. Terserah bagi setiap orang yang ingin mempercayainya atau tidak, tetapi bagi saya dan teman-teman, menjadi sebuah permainan tantangan yang menarik.

Di tengah keramaian , saya mengamati setiap orang yang ditutup matanya, mereka mencoba berjalan menuju jalan yang ada di tengah kedua pohon beringin tersebut, namun sedikit orang yang berhasil melewatinya. Akhirnya saya dan teman-teman mulai mencobanya.

Pertama yang mencoba adalah dua orang teman saya, mata mereka ditutup dengan kain dan benar-benar dipastikan tidak melihat sekelilingnya. Lalu, mereka saya tempatkan agak jauh dari pohon beringin tetapi berhadapan lurus dengan jalan ditengah pohon beringin tersebut. Ketika aba-aba mulai dari saya , mereka berdua berjalan menuju pohon beringin tersebut dengan feeling mereka. Saya dan seorang kawan , mengatur jalan di depan mereka agar tidak menabrak orang-orang yang juga bermain tutup mata seperti kami.

Ketika mendekati tembok yang memagari kedua pohon beringin tersebut. Kedua teman saya ini berpisah. Teman yang satu berbelok ke kanan , menuju lapangan sepak bola dan teman yang satunya ke kiri. Tetapi dua-duanya berhenti dimana mereka merasa yakin telah sampai ditengah jalan diantara kedua pohon beringin. Begitu kain dibuka dan mata mereka melihat sekelilingnya ternyata jauh dari pohon beringin tersebut. Kejadian tersebut malah membuat mereka semakin penasaran untuk mencoba lagi. Menurut berita yang simpang siur sih, katanya kalau berjalan kea rah kanan berarti hidupnya masih memikirkan lawan jenisnya dan kalau berjalan kea rah kiri adalah harta atau uang. Entahlah saya sendiripun belum mendapat jawaban yang pasti mengenai kedua arti tersebut.

Penasaran juga, akhirnya saya mencobanya. Deg degan rasanya begitu mata ditutup kain dan kaki mulai berjalan. Saya meraba-raba jalan didepan saya. Rasanya begitu sunyi , padahal sekeliling saya itu sangat ramai. Denger sih teman-teman saya bicara didepan jalan saya tetapi kemudian sunyi. Aduuh, saya sempat ragu untuk melanjutkan kaki saya melangkah. TIba-tiba saya tidak konsentrasi , saya merasa takut salah dengan jalan yang akan saya lalui.

Begitu saya lanjutkan kembali melangkah, ternyata saya menabrak tembok dan entah berjalan kemana lagi. Saya merasa sudah selesai kaki melangkah ternyata malah berada di tengah lapangan tidak jauh dari tempat awal saya mulai berjalan.Menurut teman-teman, saya sebenarnya sudah sampai ditengah tetapi berhenti lalu berjalan kea rah kiri hingga akhirnya hanya muter-muter di tengah lapangan.

Entahlah , kalau menurut saya sih begitu kaki mendekati kedua beringin tersebut langkah tiba-tiba berhenti. Hal yang sama , juga terjadi kepada beberapa orang selain teman-teman saya. Tetapi ada juga yang melonjak kegirangan begitu dia berhasil melewati jalan di tengah beringin. Teman saya pun setelah beberapa kali mencoba akhirnya bisa melewatinya.

Pengalaman yang unik dan mendebarkan, sebuah permainan yang mengesankan buat kami selama berada di Jogja. Memang kota Jogya selalu menawarkan pesona yang membawa setiap orang yang datang untuk selalu datang lagi.

Jogja , the most lovely city, 19 Juli 2009
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogpsot.com
Facebook Page : Catatan Perjalanan

thanks to: mas Gatot Photo-photonya juga kiwir,pinok,resti,lilis dan rakha untuk liburan yang gila dan heboh selama ke jogja:)
Link Foto cek di http://g1g1kel1nc1.multiply.com/photos/album/91

Friday, January 21, 2011

Perternakan Kordero - Bogor

Hari masih siang setelah selesai dari Pura Jagatkarta dan saya masih enggan untuk kembali ke Jakarta. Setelah makan, kami menuju sebuah perternakan kambing etawa. Letaknya sih tidak jauh dari Jalan Raya Ciapus, Tamansari.Kami diberitahukan oleh ibu penjual warung makan sebuah jalan pintas menuju peternakan kambing tersebut.

Peternakannya sederhana dengan bangunan yang sebagian besar menggunakan kayu, baik itu untuk kandang kambing maupun untuk sebuah rumah tinggal tepat di depan kadang kambing. Selain peternakan kambing, ada juga terdapat peternakan sapi. Seorang pemuda menerima kedatangan kami bertiga dengan baik. Dari seorang bapak yang bertugas di peternakan , pemuda itu adalah manajer peternakan,lulusan D3 jurusan Peternakan IPB, namanya Mas Eko.

Ada sebuah kandang yang besar tertutup kawat dan berisi anak-anak kambing. Kandang tersebut ternyata diberikan pembatas atau sekat kayu tetapi ada pintu kecil sebagai penghubung sekat yang satu dan lainnya. Sekat pertama adalah untuk kumpulan anak kambing yang baru lahir. Saat mereka lahir, anak kambing tersebut sudah dipisahkan dari induknya lalu digabung dengan anak kambing lainnya dalam satu kandang.

Di dalam kandang , dibuatkan juga satu kandang kecil bertumpuk jerami sebagai tempat dikumpulkannya anak-anak kambing ketika mereka akan diberi susu.Tinggi pintu kandang kecil itu setinggi pinggang orang dewasa. Nanti ketika jadwalnya menyusui, anak-anak kambing tersebut diangkat oleh petugasnya lalu diberi susu satu persatu. Untuk jadwal pemberian susu adalah pkl 06.00 dan pkl 15.00.

“Ada beberapa orang yang membantu saya menyusui anak-anak kambing tersebut. Tetapi jika mereka sibuk mencari rumput untuk pangan kambing atau sedang melakukan tugas yang lain, ya saya mba yang memberikan mereka susu.” Kata Mas Eko

“Sekitar 15 liter susu sapi yang diperlukan untuk menyusui anak-anak kambing itu mba setiap jadwalnya menyusui” Begitulah yang dijelaskan Mas Eko kepada saya, Mutia dan Ida.

Tidak lama, Mas Eko meninggalkan kami untuk memeras susu sapi yang letaknya tidak jauh dari kandang anak kambing. Sebab sudah waktunya memberikan susu kepada anak-anak kambing yang memiliki daun telinga yang panjang ini. Sebanyak tiga liter susu sapi yang dihasilkan dari setiap perasan yang tanpa menggunakan alat bantu. Hasil perasan susu sapi tersebut dikumpulkan dalam sebuah ember kecil. Kemudian ember yang berisi susu sapi tersebut, diberikan putih dan kuning telur ayam sebanyak dua butir lalu diaduk rata. Setelah itu susu sapi dituangkan ke dalam botol susu , hanya sayangnya jumlah botol susu tersebut hanya 3 buah yang digunakan untuk menyusui sekitar 54 ekor anak kambing dengan berbagai usia.

Saya dan Mutia membantu menyusui anak-anak kambing dari botol susu yang sudah diisi susu sapi. Menyenangkan sekali dan baru kali ini saya merasakan menyusui anak-anak kambing yang tidak pernah menyentuh ataupun meminum susu dari puting susu induknya sendiri. Saya sendiri sangat kewalahan karena agresifnya anak-anak kambing ini menghabiskan susu. Mereka sangat kuat menyedot karet yang ada dibotol susu seperti sedang kehausan mereka menghabiskan isi botol dalam waktu singkat.

Dalam pemberian susu ada takarannya sendiri. Untuk anak kambing yang ada di sekat pertama karena usinya masih bayi, maka tiap anak kambing diberikan hanya satu botol susu sapi. Untuk yang ada di sekat kedua, usianya sekitar dua bulanan maka diberikan 1 ½ botol susu. Di sekat yang ketiga , karena usianya sudah lebih dari tiga bulanan diberikan dua botol susu. Nah, untuk anak kambing yang sudah menyusui, mereka dipisahkan dan dikumpulkan di sekat sebelah kadangnya yang sudah kosong, Setelah semua sudah minum susu, anak-anak kambing tersebut digiring masuk kembali ke dalam kandang kecilnya, begitupun dengan anak kambing di kandang berikutnya.

Saya melihat ada seekor anak kambing yang tidak lincah dan hanya terdiam dipojok kandang kecil ketika diangkat dan diberikan susu juga tidak menghabiskannya seperti yang lainnya , sepertinya sedang sakit. Kasihan kalau ada anak kambing yang sakit , akan diberikan obat-obat seperti yang biasa dikonsumsi manusia. Karena dokter hewan juga tidak ada dan Mas Eko juga merangkap sebagai dokter untuk mengobati mereka.
Selain kandang anak-anak kambing yang lucu-lucu nan menggemaskan itu, ada juga kandang khusus para pejantan dan betinanya. Kandangnya sangat bersih karena memang selalu dibersihkan setiap hari jadi tidak akan mencium bau yang menyengat. Selain itu, selalu tersedia pangan buat kambing-kambing etawa ini. Ada lima pejantan yang tersedia dan siap membuahi para betinanya.

“Banyak suka dukanya mba ketika merawat kambing-kambing ini. Pernah saya ditendang ketika memandikan mereka.” Cerita Mas Eko kepada kami.

“Tiap hari saya memandikan, selain itu juga merawat yang sakit, memberikan makan, membersihkan kandang, membantu melahirkan kambing betina. Jika ada pejantan yang sedang masa pembuahan saya juga harus tahu termasuk memilih betinanya untuk dikawinkan.” Kami jelas terheran-heran dengan apa yang diljelaskan oleh Mas Eko keseluruhan tugasnya di peternakan Kordero ini. Luar biasa..

Menurut Mas Eko, untuk kambing betina yang baru melahirkan, sekitar sepuluh hari kemudian baru dimandikan dan itupun tergantung cuaca. Sebabnya mencegah timbulnya sakit /demam pada kambing betina itu sendiri. Setiap hari juga , kambing betina menghasilkan susu perasan sebanyak tiga liter. Hasil susunya banyak untuk dijual tetapi untuk fragmentasi belum dilakukan karena keterbatasan alat. Kambing etawa ini tidak dijual melainkan khususkan untuk dikembangbiakan populasinya.

“Pernah dibawakan bibit pejantan dari luar negeri mba, tetapi adaptasinya kurang bagus , tidak bertahan lama di tempat ini dan akhirnya mati.” Demikian penjelasan Mas Eko ketika ia menunjukkan tempat kandang pejantan.

Ada satu pejantan yang sudah menghasilkan pejantan yang lain, nama kambing itu adalah Rocky. Tubuhnya sangat besar , sayapun kaget melihat postur tubuhnya yang besar dan tinggi. Anaknya pun tidak jauh berbeda dan diberi nama Danny. Rocky dan Danny serta tiga penjantan lainnya dipersiapkan untuk menghasilkan bibit – bibit yang bagus untuk perkembangan kambing etawa selanjutnya , yang menurutnya sih sudah tidak ada lagi dinegeri asalnya , India.

Sebelum pulang, Ida dan Mutia membeli susu kambing yang sudah dibungkus dan didinginkan berlabel Kordero, nama dari peternakan kambing ini. Perjalanan yang tidak disangka. Bermula hanya iseng ingin membeli susu kambing ternyata dari tempat sederhana ini , kami mendapat pengetahuan yang sangat penting dan berharga. Tidak akan pernah lupa pengalaman yang luar biasa dari peternakan kordero , Bogor.

Bogor, 01 Januari 2011
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com
mail to : g1g1kel1nc1@yahoo.com.au
Foto-foto perjalanan kami di bogor : http://www.facebook.com/profile.php?id=1529778501#!/album.php?id=1529778501&aid=2098804
Note : all pictures are belong to Tarmidah Sumargo

Gereja Sion Dan Kawasan Kota Tua Disekitarnya

Selain mengenal Kampung Pecah Kulit, saya diperkenalkan juga oleh Komunitas Jelajah Budaya tempat-tempat yang bersejarah lainnya. Awal perkenalan saya adalah dengan sebuah gedung Bank Mandiri yang kantornya masih aktif sampai sekarang. Tidak masuk ke dalam gedung, tetapi diluar gedungnya saja tepatnya persis disebelah halte bus transjakarta Kota.

Di jelaskan disana, pada masa pemerintahan Belanda , banyak dibangun gedung yang menjadi tempat penyimpanan uang/bank untuk para warganya yang ada di Batavia. Termasuk salah satunya adalah Kantor Nederlandsche Handel Mastchappij ( NHM ) yang dibangun pada tahun 1929 dan diresmikan tanggal 14 Januari 1933 oleh Dr. C.J.K van Aaalst , presiden NHM ke-10. Mereka yang hendak menyimpan uangnya , dahulu melakukannya dengan melewati kalibesar sebagai jalur transportasi yang murah , cepat dan vital. Karena daerah diseberang kalibesar hanya dipergunakan sebagai kawasan pergudangan.

Selanjutnya perjalanan jelajah kota tua ini, saya lanjutkan melewati Stasiun Jakarta Kota atau lebih dikenal dengan sebutan Stasiun Beos yang memiliki arsitetur bangunan yang menarik dan merupakan salah satu cagarbudaya. Nama Beos sendiri terdapat beberapa versi. Pertama, berasal dari kependekan kata Batavia Ooster Spoorweg Maatschapij ( BOSM = Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur ). Versi lain kata Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken yang artinya Batavia dan sekitarnya, dimana stasiun yang menghubungkan stasiun lain seperti Bekassie ( Bekasi ) , Buitenzorg ( Bogor ) , Parijs van Java ( Bandung ), Karavam ( Karawang ) dll. Perancang Stasiun ini adalah seorang arsitek Indo-Belanda kelahiran Tulungagung,8 September 1882 , bernama Frans Johan Louwrens Ghijsels. Secara resmi digunakan pada tanggal 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan dengan penanaman kepala kerbau di dalam ruangan gedung dan satunya lagi di tengah jalan antara stasiun dan tugu jam.

Tidak jauh dari stasiun kota , ada sebuah gereja tua yang berada diujung jalan Jayakarta yakni Gereja Sion. Gereja sion adalah salah satu gereja tua yang ada di kota Jakarta dan salah satu cagarbudaya yang dilindungi. Padahal sering sekali dilewati karena terletak di tepi jalan raya namun hanya bersama Komunitas Jelajah Budaya inilah saya pertama kalinya memasuki gereja tersebut.

Halamannya luas dan terdapat beberapa makam seperti makam yang ada di Museum Taman Prasasti. Bentuknya memanjang , tiap sudutnya ada handle yang berbentuk lingkarang terbuat dari besi yang kuat dan kalau diperhatikan ada nomornya juga diatas makam tersebut. Menurut, salah seorang jemaat gereja yang menjadi narasumbernya, mengatakan halaman ini dahulunya merupakan tempat makam dan luas sampai ke sebrang jalan. Tetapi sejak tahun 1960, makam-makam tersebut dipindahkan ke pemakaman yang ada di Tanah Abang ( Museum Prasasti ) karena makam-makam tersebut diperluas menjadi halaman untuk parkir gereja. Sekarang hanya terdapat 13 makam. Dahulu, makam-makam yang ada di halaman gereja tersebut menjadi symbol dari tingkatan sosial. Karena yang dimakamkan dihalaman gereja tersebut dari berbagai tingkatan sosial. Ada seorang Gubernur Jendral tetapi ada juga rakyat biasa.

Gereja Sion ini dibangun dengan 10.000 tiang kayu pilihan dan setelah selesai pembangunannya digunakan oleh Mardjiker atau orang Portugis yang dimerdekakan. Gereja Sion merupakan Gereja Portugis yang dibangun oleh Belanda untuk orang-orang Portugis yang menjadi tawanan VOC, setelah Portugis tidak berkuasa lagi diwilayah jajahannya. Awalnya gereja ini bernama Portugese Buitenkerk yang artinya Gereja Portugis diluar tembok pemerintahan kota Batavia. Lambat laun, gereja ini digunakan oleh Belanda sedangkan warga Mardjiker tersebut dipindahkan ke Kampung Tugu.

Lalu Gereja Sion dikelola oleh GPI ( Gereja Prostestan di Indonesia ). Karena wilayah pelayanan GPI pada bagian barat di Indonesia, maka pada tahun 1957 pada persidangan sinode, Gereja Portugis ini berubah menjadi nama GPIB Jemaat Sion. Nama Sion sendiri berasal dari bahasa Ibrani yang berarti sebuah bukit yang menjadi lambang keselamatan.

Selain itu dijelaskan juga oleh narasumber gereja ini ,bahwa perkembangan awal gereja portugis ini berasal dari Indonesia bagian timur terutama di Maluku, Sulawesi ke bagian utara dan Nusa Tenggara Timur . Ada sebuah kisah dimana,pada masa penjajahan Jepang, Gereja Sion ingin dijadikan tempat penyimpanan abu tentara Jepang yang gugur. Tetapi keinginan tersebut tidak terjadi dan Gereja Immanuel yang dipakai untuk menyimpan abu.

Bangunan Gereja Sion ini sangat unik. Bentuknya seperti kotak jika diperhatikan dan sederhana. Menurut salah seorang jemaat Gereja ini tidak mengalami perubahan apapun termasuk interiornya. Pintu masuk hanya satu dengan dua buah daun pintu yang lebar dan diapit dua buah tiang yang kokoh.Diatasnya tertulis usia dari Gereja Sion dan diatas tulisan terdapat salib yang besar. Kiri dan kanan pintu masuk, terdapat dua buah jendela ,simetris serta di ujung atas jendela terdapat symbol hati / love.
Bagian dalam gereja , terdapat beberapa kursi berukiran sangat bagus berwarna hitam.

Masih kokoh dan awet padahal usianya sudah ratusan tahun. Bagian belakang , masih di dalam gereja, terdapat sebuah prasasti peringatan mengenai cerita lengkap pemberkatan gereja ini yang tertulis dalam Bahasa Belanda dan masih bisa dilihat didinding gereja. Gereja Sion dibangun hampir dua tahun dan peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn atas perintah Ketua Dewan Gereja Joan van Hoorn, yang kemudian hari menjabat sebagai Gubernur Jendral VOC ( 1704 – 1709 ). Gereja tersebut kemudian diresmikan oleh Pendeta Theodorus Zas pada tanggal 23 Oktober 1695 pada hari Minggu.

Persis di sebelah prasasti gereja, terdapat sebuah tangga menuju sebuah balkon yang disangga empat tiang. Ternyata diatas sana itu ada sebuah alat musik orgen atau orgen seruling . Ketika saya bertanya dengan salah seorang jemaat disana, ternyata alat musik itu masih digunakan. Orgen tersebut merupakan pemberian seorang puteri pendeta bernama John Maurits Moor.

Selain itu , mimbar yang terdapat di Gereja SIon unik sekali seperti mahkota raja. Mimbar yang bergaya Barok, bertudung kanopi dan dua tiang penyangga dan empat tonggak perunggu. Kalau diperhatikan, terdapat jejeran bangku-bangku yang menghadap bangku jemaat yang di bagian tengah. Dahulunya , ditempat itu adalah tempat duduknya para bangsawan Belanda ketika mengikuti ibadat di dalam gereja ini. Tiang-tiang penyangga gedung gereja ini sangat kokoh termasuk juga kayu-kayu yang ada di atap gereja. Warna – warna seperti coklat, hitam dan krem membuat tempat ini terlihat sederhana tetapi menarik.

Bagian belakang gedung, terdapat sebuah lonceng. Entah masih berfungsi atau tidak, penyangganya terbuat dari kayu dan ditarik dengan seutas tali. Kalau menurut saya, fungsinya sebagai tanda untuk memulai ibadat ataupun sebagai tanda kedatangan jenasah, sebab halaman gereja dulunya merupakan sebuah makam.

Jakarta, 16 januari 2011
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com
mail to : g1g1kel1nc1@yahoo.com.au
Fage Facebook : Catatan Perjalanan
*thanks to : Komunitas Jelajah Budaya*

Tuesday, January 18, 2011

Kota Toea : Mengenal Kampoeng Pecah Kulit

Kampung Pecah Kulit? Nama itu terkesan aneh bagi saya. Rasa penasaran karena nama tersebut , membuat saya ikut serta dalam Jelajah Kota Tua bersama Komunitas Jelajah Budaya supaya dapat mengenal lebih dekat tentang Kampung Pecah Kulit ini sekaligus juga menjawab rasa penasaran saya.

Perjalanan mengenal sejarah ini, saya lakukan dengan berjalan kaki menyusuri sepanjang Jalan Pangeran Jayakarta – Mangga Dua. Menurut historisnya Jalan Jayakarta ini bernama Jacatraweg . Letaknya sudah diluar kota Batavia atau diluar benteng kota Batavia, dengan perbatasannya adalah Jembatan Jassen yang sampai sekarang ini masih terlihat ditepi jalan menuju stasiun Jakartakota dari arah manggadua. Selain itu, Jacatraweg dahulunya merupakan sebuah tempat perkebunan dan hutan belantara, dimana masih terdapat banyak binatang buas di dalamnya.

Di luar kota Batavia ini, terdapat sebuah perkampungan yang diberi nama Kampung Pecah Kulit. Nama “Pecah Kulit” menurut versi yang pertama konon berasal dari sebuah profesi ayah dari Peter Erbervelt yang seorang Penyamak Kulit .Ia diangkat sebagai anggota Heemraad untuk mengurusi kepemilikan tanah di daerah Ancol, ia menjadi tuan tanah. Kekayaan ini diwariskan kepada anaknya.

Lalu siapa itu Peter Erbervelt sehingga ia dan keluarganya begitu terkenal? Dari sebuah catatan sejarah, Peter ini adalah seorang Indo keturunan Jerman - Siam yang bekerja di Batavia menjadi seorang pedagang dan tuan tanah yang cukup terkenal warisan dari ayahnya. Nama keluarganya menunjukkan bahwa keluarganya berasal dari Elberfeld, yang sekarang menjadi bagian dari kota Wuppertal,NRW, Jerman. Kematiannya sangat mengenaskan. Peter , dihukum mati pada tanggal 22 April 1722 dengan masing-masing kaki dan tangannya ditarik oleh empat ekor kuda, hingga tubuhnya terpotong dan kulitnya terpecah. Inilah versi kedua , mengapa kampung tersebut dinamakan “Kampung Pecah Kulit.”

Peter dieksekusi diluar benteng Batavia bukan di halaman balai kota , yang sekarang ini menjadi Museum Fatahillah ( Museum Sejarah ). Alasannya pemerintah VOC takut jika ada pengikutnya yang melakukan perlawanan dan demi alasan keamanan. Tubuh Peter yang hancur dimakamkan dan kepalanya di penggal dan ditancapkan pada sebuah tombak. Hal itu menjadi peringatan buat semua orang agar tidak lagi melakukan perlawanan terhadap pemerintah VOC.

Lokasi dari monumen tengkorak Peter , sekarang ini sudah menjadi sebuah gedung showroom mobil yang besar, letaknya tidak jauh dari Gereja Sion- Jakarta. Dahulunya tempat itu adalah rumah peninggalan Peter Everbelt dan juga merupakan tempat dibangunnya sebuah tugu peringatan dengan tengkorak kepala Peter yang telah ditancapkan sebuah tombak dan ada sebuah prasasti dibawahnya. Namun, ketika Jepang datang ke Indonesia, Tugu tersebut dihancurkan namun prasastinya masih dapat diselamatkan. Tubuhnya dimakamkan di Museum Fatahillah dan replika dari tugu peringatannya tempatnya di pindahkan ke Museum Prasasti , Tanah Abang Jakarta.

Ada yang jadi pertanyaan saya , kenapa sampai Peter Ebervelt ini dihukum mati dengan cara yang sadis seperti itu? Beberapa catatan VOC menyebutkan Peter dianggap memimpin konspirasi dan sejumlah kekacauan yang bertujuan menentang kekuasaaan. Terlebih lagi, Peter merasa sakit hati terhadap Kolonial Belanda , terutama Gubernur Jendral waktu itu Johan Van Hoorn dimana telah menghancurkan hidupnya dengan menyita tanah dan rumahnya , dengan alasan supaya Peter mau menjual tanahnya kepada Gubernur Jendral tersebut.

Bersama sahabatnya yang orang pribumi yakni Raden Ateng, membuat rencana pembuhunan terhadap orang-orang Belanda. Namun sayang, rencana mereka gagal , akhirnya mereka dihukum mati bersama beberapa orang yang menjadi pengikut mereka. Ada juga yang mengatakan kematian Peter Ebervelt merupakan masalah politis karena terdapat banyak kejanggalan akan tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Raden Ateng Kartadriya pun dimakamkan tidak jauh dari Kampung Pecah Kulit. Di sebuah tempat pemakaman yang padat penduduk dan gang yang kecil di tepi jalan Jayakarta. Ia diyakini oleh warga sekitar sebagai Pangeran Jayakarta, walaupun catatan sejarah mengenainya tidak secara pasti dijelaskan. Namun, makamnya sangat ramai dikunjungi orang yang berziarah dan berdoa.

Selain makam Raden Ateng, ada juga seorang kapitan yang sangat terkenal dan yang pertama di Batavia bagi warga Cina yakni Kapitan Souw Bing Kong. Kematiannya pun sama karena dihukum mati oleh pemerintahan VOC dengan kata lain ia adalah salah satu korban eksekusi seperti Peter Ebervelt. Ia diberi gelar Kapitan , yakni sebuah jabatan yang diberikan oleh VOC untuk membantu pemerintah dalam menangani segala perkara sipil seperti memungut pajak dan menyediakan tenaga kerja untuk pembangunan Batavia.

Karena Souw Bing Kong atau Bencon , berasal dari etnis Tionghoa , maka dia dipercaya untuk menjadi Kapitan Cina untuk etnisnya. Begitupun untuk golongan etnis lain di Batavia , dipercayakan satu orang untuk menjadi pemimpin atau seorang Kapitan untuk membantu VOC. Ia pun merupakan sahabat dekat dari Gubernur Jendral VOC J.P Coen yang pernah membumihanguskan Jayakarta pada tahun 1619. Makamnya terdapat ditengah pemukiman penduduk yang sangat padat dan berada dalam Yayasan Souw Bing Kong jadi situsnya masih dapat diselamatkan dan dipelihara sehingga setiap peziarah dapat melihat makamnya.

Perjalanan terakhir bersama Komunitas Jelajah Budaya untuk mengenal Kampung Pecah Kulit, berakhir di sebuah mesjid Keramat Mangga Dua. Bangunan masjid ini sudah terlihat modern walaupun termasuk dalam masjid tua. Namun karena yang masih terlihat sebagai masjid tua adalah atapnya dan bentuk jendela, sudah tidak bisa dikategorikan cagar budaya karena sudah banyak bangunan aslinya yang sudah diganti marmer. Di dalam pun masih terdapat makam seorang ningrat yakni Raden Tumenggung Anggakoesoemah Dalem Gadjah.

Jakarta, 16 Januari 2011
Veronica Setiawati
http ://g1g1kel1nc1.blogspot.com
*thanks to : Komunitas Jelajah Budaya*
Foto-foto kegiatan Jelajah Kota Tua : Kampung Pecah Kulit

Tuesday, January 04, 2011

Bogor : Parahyangan Agung Jagatkarrta

Kembali, kota Bogor menjadi pilihan saya berlibur di hari pertama bulan Januari di tahun yang baru. Dengan menggunakan kereta express Pakuan Jakarta – Bogor, saya menuju kota yang selalu ada saja tempat yang ingin dikunjungi.

Di stasiun Bogor sudah menunggu Ida dan Mutia. Ternyata saya yang paling akhir sampai. Untunglah , hari pertama tahun baru ini tidak begitu ramai dan padat serta macet. Perjalanan lancar sampai ke tempat tujuan yakni sebuah Pura Jagatkartta nan agung dan megah di kaki gunung Salak. Kami diantar angkot sampai di tempat parkir pura. Lumayan tidak mengenakan jalan masuk menuju Pura dari Jalan Raya Ciapus. Sekitar satu kilometer perjalanan kami bertiga duduk kurang nyaman di dalam angkot karena jalan yang kami lalui rusak parah.

Tetapi semua ketidaknyamanan tersebut segera hilang ketika kami sampai di pintu masuk Pura. Udaranya sejuk, pemandangannya bagus dan banyak orang-orang yang akan bersembahyang di dalam. Kami diizinkan ke dalam dengan catatan kami sebagai perempuan tidak dalam kondisi datang bulan atau haid. Sesampainya kami di sebuah halaman yang besar, saya tidak boleh masuk ke atas menuju pelataran pura karena memakai celana pendek, tetapi Ida dan Mutia dapat masuk. Mereka berdua diikatkan tali berwarna kuning pada pinggangnya, sedangkan saya memakai kain panjang untuk menutupi bagian pinggang sampai kaki lalu pinggang saya diikatkan tali berwarna kuning.

Dari sini, kami menaiki anak tangga menuju pelataran Pura , dimana terdapat sebuah patung Ganesha yang besar. Patung yang berwajah gajah tetapi berbadan manusia. Di tempat ini, kami diminta untuk melepaskan alas kaki. Lagipula disitu disediakan rak – rak kecil untuk menyimpan sepatu atau sandal selama kami berada di dalam. Tepat di depan anak tangga, ada sebuah bangunan kecil yang dibungkus kain berwarna kuning dan putih. Ternyata itu adalah sebuah tempat air yang digunakan mereka yang hendak berdoa di dalam pura dengan cara dipercikan ke atas kepala mereka.

Pura Agung sudah terlihat jelas dan sangat cantik di ujung sana. Kabut yang turun menutupi sebagian permukaan gunung salak semakin menambah menariknya tempat ini. Tepat di hadapan Pura terdapat sebuah pendopo yang besar. Dari sini bisa melihat pemandangan yang sangat bagus dibawah sana. Sewaktu kami tiba dipendopo ini beberapa pengunjung sedang berdoa. Seorang pemangku atau pemimpin ibadat duduk pada sebuah tempat tersendiri sambil membunyikan lonceng , memimpin sebuah ibadat bagi setiap orang yang duduk bersimpuh ditempat tersebut. Kemudian memercikinya dengan air lalu menempelkan sesuatu di dahi mereka. Ternyata sesuatu itu adalah tiga butir nasi yang menempel di dahi mereka dan juga mengandung pengharapan semoga pikiran kita selalu bersih.

Pura Jagattkarta ini bentuknya seperti tiga buah candi dan masing-masing memiliki satu pintu yang hanya bisa dimuat oleh satu orang. Masing-masing pintu memiliki anak tangga yang menuntun setiap orang yang hendak berdoa di dalam, namun hanya pintu yang di bagian tengah yang ditutup. Menurut seorang pengunjung yang saya tanyai , pintu yang ditengah itu dikhususkan untuk Tuhan atau Sang Hyang Widi. Jalan masuk menuju pintu tersebut dijaga oleh patung dua ekor ular yang sangat besar. Pintu masuk yang digunakan adalah disebelah kiri dan kanan untuk mereka yang ingin masuk dan berdoa didalam.

Bagian dalam atau dibalik pura tersebut adalah sebuah tempat doa/tempat yang suci dan tidak diperkenankan untuk mengambil gambarnya. Kalau hendak masuk kedalam khusus untuk mereka yang hendak bersembahyang. Anak tangga yang menuju pintu menggambarkan bahwa untuk berjumpa dengan Tuhan, dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk mencapainya. Tidak demikian ketika mendekati pintu yang mahasuci. Mereka yang dapat melewati anak tangga tersebut yang dapat menjumpai Tuhan. Pintu yang sempit ketika sampai di puncak anak tangga, menggambarkan pribadi yang berjumpa dengan Tuhan karena sempitnya pintu hanya satu atau dua orang yang dapat melewatinya. Sebab ketika berada dibawah , pintu terbuka lebar , siapa saja bisa masuk kedalam.

Kami tidak dapat masuk ke dalam pura tetapi pemandangan dari pintu , sangat cantik. Melelahkan memang ketika menaiki anak tangga menuju pintu masuk pura. Tetapi begitu pandangan dilepaskan ke bawah, melihat pendopo dan kota Bogor rasanya semua lelah itu hilang. Lalu ketika kami akan meninggalkan tempat ini, kain dan ikat pinggang yang melekat kami kembalikan. Luar biasa tempat ini, sebagai tempat wisata religi umat Hindu memang begitu menarik untuk dikunjungi.

Bogor, 1 Januari 2011
Parahyangan Agung Jagatkarta
Jl. Nanas, Warung Loa, Desa Taman Sari, Kec. Taman Sari - Bogor
Telp (0251) 485092

Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com
mailto : g1g1kel1nc1@yahoo.com.au
Facebook Page : Catatan Perjalanan
Thanks to Tarmidah Sumargo dan Mutia untuk perjalanan yang berkesan di kota Bogor