Kraukk.com

728 x 90

Sunday, February 27, 2011

Jelajah Alam dan Budaya Bojonegoro

Rasanya senang bisa ikut berpetualang bersama crew televisi! Kali ini petualangan yang saya ikuti adalah menjelajahi alam dan budaya yang ada di Bojonegoro. Pasti masih bertanya koq bisa sih? Ya bisa lah kan saya menontonnya di televisi di acara JELAJAH Trans Tv , Minggu pkl 08.00 pagi lalu saya mencatatnya sebagai review dari tayangan tersebut. Ya mudahan-mudahan saja saya beneran bisa jalan-jalan bersama mereka berpetualangan menjelajahi alam dan budaya Indonesia. Namanya juga berharap selalu saja ada kemungkinan , ya kan?? ^.^

Tayangan perjalanan JELAJAH, diawali dengan meliput sebuah sungai yang terpanjang di Pulau Jawa yang juga membelah Kota Solo. Dengan sebuah gethek yang tebuat dari rakitan bambu, diceritakan sedikit sebuah sejarah tentang kisah seorang yang bernama Jaka Tingkir. Ia pernah melewati sungai Bengawan Solo ini menuju Demak. Namun, ditengah perjalanan ia dihadang oleh beberapa ekor buaya. Jaka Tingkir berhasil mengalah buaya – buaya tersebut dan dengan lancar berhasil memasuki Demak sehingga dapat menduduki tahta Demak. Sungai Bengawan Solo mempunyai dua hulu yakni di Wonogiri dan Ponorogo. Aliran sungainya menghidupi warga yang berada disekitarnya. Saat ini sudah mulai dirintis transportasi sungai dengan menggunakan gethek untuk menyusuri sungan sepanjang 548 KM.

Ada yang khas dari sebuah desa Sukoharjo yang dilewati sungai Bengawan Solo, yakni sebuah makanan khasnya. Namanya Jenanggununggudel, unik ya namanya.Pembuatannya pun masih tradisional dan menggunakan tenaga manusia. Jenanggununggudel itu seperti dodol. Bedanya dengan jenang atau dodol umumnya karena bahan dasarnya yang terbuat dari ketan. Selain itu kalau dimakan terasa kasar dan rasanya manis , oleh sebab itu orang sana menyebutnya Krasian. Cara pembuatannya adalah kelapa , beras dan gula merah ketiganya dimasak selama tiga jam lamanya. Sedangkan ketan , bahan dasar jenang ini disangrai atau digoreng tanpa minyak, selama 10 menit lalu digiling kasar. Setelah itu dimasak selama 30 menit kemudian dicampurkan dengan adonan kelapa, beras dan gula merah yang sudah dimasak sebelumnya diaduk hingga mengental. Kemudian jenang ini dibungkus plastik untuk dijual sebagai oleh-oleh. Harganya berkisar Rp 10.000 – Rp 20.000.

Lain halnya ketika berada disebuah desa Margomulyo , Bojonegoro yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disana terdapat sebuah desa yang bernama Desa Samin. Karena letaknya yang masih dikelilingi hutan seluas 740H dahulu digunakan sebagai tempat persembuyian tentara Jepang. Ada yang menyebut Desa Samin adalah sebuah kelompok suku. Menurut sejarahnya desa ini adalah tempat seorang yang dihormati bersama pengikutnya bernama Raden Kohar. Kemudian ia mengganti namanya menjadi Samin Suro Santiko, agar bisa lebih dekat dengan wong cilik. Ia memegang teguh prinsip hidupnya yang jujur, polos tetapi juga kritis ketika menghadapi penjajahan. Bentuk perlawanannya adalah dengan tidak membayar pajak! Adalah Mbah Harjo yang hanya dapat berbicara dalam bahasa Jawa , merupakan generasi keempatnya. Pakaian yang dikenakan Mbah Harjo pun sangat unik yakni dengan memakai ikat kepala warna hitam, baju hitam dan celana sebatas lutut berwarna hitam juga. Uniknya , jika ada tamu yang datang, tidak diperkenankan minum memakai gelas melainkan menegak langsung dari kendi.

Kalau di Sukoharjo ada pembuatan jenang, nah di desa Margomulyo ini ada juga sebuah tradisi turun temurun yakni pandai besi atau yang disebut Mandey. Alat-alat pertanian seperti cangkul dan arit dibuat sendiri. Bahannya terbuat dari baja. Untuk proses tempa dan pembakarannya membutuhkan waktu 45 menit. Sebelumnya baja tersebut di sepuh dahulu kemudian dikikir diasah sampai tajam. Lambat laun kerajinan ini mendatangkan penghasilan sendiri bagi warga sebab dapat dijual juga dengan kisaran harga Rp 25.000 – Rp 50.000 sesuai ukuran. Kekayaan alam yang lain dan masih tersimpan di Bojonegoro adalah sebuah sumber gas buminya. Wah, ternyata disebuah tempat yang jauhnya 21 km dari kota terdapat sumber api abadi yang menurut seorang peneliti dari Inggris , karangan api ini terbesar se Asia Tenggara! Bahkan sudah ada jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Di tempat tersebut juga pernah digunakan seorang Mpu sebagai tempat pertapaan. Keren banget kan??

Selain sumber alam gas bumi terdapat juga sumber minyak buminya! Disebuah desa Wonocolo masih di Bojonegoro, terdapat lokasi penambangan minyak bumi. Sumur-sumur minyak itu adalah peninggalan Belanda. Karena butuh modal yang sangat besar maka warga setempat menjalankan bisnis tambang minyak ini secara berkelompok dan tentu saja dengan alat-alat yang masih tradisional. Setiap orang masuk ke dalam sumur untuk menggali kedalaman sumur hingga 25 meter. Masing-masing orang diberi jatah masuk ke sumur adalah ½ - 1 jam. Wooww… luar biasa! Setelah dirasa cukup kedalamannya, ditanam sebuah pipa untuk memompa minyak keluar. Bisa saja minyak bercampur lumpur dan untuk membersihkannya membutuhkan waktu 2 – 1 tahun. Kalau minyaknya sudah bersih, dibawa ke sebuah tempat godokan tidak jauh dari pertambangan untuk dimasak menjadi minyak tanah atau solar.

Beberapa pembeli juga datang dengan membawa jeringen besar , penjualan minyak ini sampai keluar Kabupaten. Tercatat di desa ini, terdapat 74 unit sumur tambang minyak yang masih aktif dengan kapasitas minyak yang dihasilkan adalah 42.000 ltr per harinya. Luar biasa…luar biasa…

Ternyata, tanpa harus pergi dengan hanya menonton dari televisi, saya dapat melihat tempat-tempat yang unik di setiap daerah. Saya semakin ingin menjelajahi Indonesia dan bisa mendapatkan juga pengalaman yang unik dan mengherankan seperti ini di bumi pertiwi, Indonesia. Selamat Jalan-jalan!

Jakarta, 27 Februari 2011
Veronica Setiawati
http ://g1g1kel1nc1.blogspot.com
tulisan ini dibuat pada saat menonton acara JELAJAH di Trans TV pkl 08.00 pagi
Dengan catatan seperti ceker ayam ternyata bisa dirangkai menjadi satu cerita yang unik. Thanks Trans TV, bersamamu saya bisa ikut JELAJAH!^^

Monday, February 14, 2011

JELAJAH KOTA TOEA: PECINAN-GLODOK

Dalam rangka menyambut Cap Go Meh, kembali saya menyusuri kota toea Pecinan bersama teman-teman dari Komunitas Jelajah Budaya. Cap Go Meh jatuhnya 15 hari setelah perayaan IMLEK pada tradisi Tionghoa. Beberapa tradisi kuliner dan mitos yang ada dari perayaan IMLEK hingga Cap Go Meh , banyak saya dengarkan ketika mengikuti perjalanan menyusuri kawasan pecinan dengan berjalan kaki.

IMLEK adalah perayaan menyambut datangnya musim semi dengan tumbuhnya pohon MenHwa yang ditandai berkembangnya bunga-bunga dari pohon tersebut yang berwarna merah muda. Kemudian adanya jeruk yang dipercaya mendatangkan rejeki dan kemakmuran, ikan bandeng yang besar serta kue keranjang. Sebuah kepercayaan dikalangan warga Tionghoa yang merayakan IMLEK , jika dimalam tahun baru tersebut datang hujan maka akan mendatangkan rejeki serta kemakmuran yang berlimpah.

Bentuk rumah-rumah warga Tionghoa yang masih ada serta bisa dilihat di kawasan Pecinan pun tergolong unik. Mereka menutup rapat-rapat dan membuat teralis besi pada rumahnya dimaksudkan agar rejeki itu tidak kemana-mana atau tidak sampai keluar rumah. Selain itu jika diperhatikan, disetiap rumah warga , terdapat satu tempat doa lengkap dengan dupa dan sesajinya yang dibuat menempel pada dinding di dalam rumah ataupun dihalaman rumah. Tujuannya dibangun, sebagai tempat penghormatan kepada para leluhur ataupun para dewa sesuai keyakinan pemilik rumah tersebut.

Ada lagi yang menarik jika diperhatikan, yakni disetiap pintu masuk rumah terdapat benda-benda untuk menolak bala atau sesuatu yang mendatangkan sial masuk ke dalam rumah. Bentuknya macam-macam , ada yang bergambar sebuah mahluk yang seram bertaring ataupun sebuah kaca segilima dan bertulisan huruf china. Nah, bila ada sebuah rumah terletak posisi tusuk sate , seperti yang ada pada salah satu rumah warga Tionghoa ketika saya melihatnya , diatap rumah tersebut dipasangkan sebuah kendi . Dimana mulut kendi tersebut menghadap jalan didepan rumah. Tujuannya seperti halnya benda-benda yang dipasangkan pada pintu rumah , yakni untuk menghindari hal-hal yang tidak baik dan mungkin juga akan berpengaruh kepada rejeki dari sang penghuni rumah.

Pecinan juga indentik dengan rumah ibadahnya dimana mereka mengucapkan syukur kepada Tuhan. Di sebuah Klenteng atau Wihara dari Yayasan Bhudi Dharma , saya melihat beberapa lampion yang tergantung tetapi berjuntai kertas yang sebuah nama dari masing-masing lampion. “ Kertas itu bukan berisi nama-nama orang yang sudah tiada. Melainkan nama-nama dari mereka yang memberikan lampion ke tempat ini.” Jawab seorang bapak yang saya mintai keterangannya. “ Lampion ini sebagai tanda penerangan. Biasanya dipasang untuk dua hal, pertama untuk ulang tahun dan perayaan IMLEK.”

Selain wihara Budhi Dharma ada juga terdapat wihara Ariya Marga atau Lamceng Tee Bio . Letaknya disebuah gang kecil dan banyak terdapat tempat makan warteg di pintu masuk gang. Ada dua buah relief yang terdapat di pintu masuk wihara Tee Bio. Pertama sebuah relief seorang raja yang mengendarai kuda. Dimana replika dari kuda tersebut ada di dalam wihara. Dan relief yang kedua adalah gambara dari cerita tiga orang raja yang merupakan kakak beradik yang sedang bersengketa tetapi akhirnya dapat didamaikan oleh sang kakak. Mereka memperebutkan kedudukan dari sebuah pohon , dimana yang menjadi tempat terhormat bukanlah pada pucuk pohon tersebut melain pada akar dari pohonnya. Kurang lebih begitulah ceritanya.

Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi sebuah klenteng yang cukup tua yakni Klenteng Tang Seng Ong. Sewaktu saya mengikuti kegiatan yang sama sekitar tahun 2009, tempat ini masih dalam renovasi tetapi saat dikunjungi kembali menjadi sebuah klenteng yang sangat bagus. Bagian depan terdapat ruangan untuk berdoa di bagian belakang terdapat sebuah kolam ikan dan replika bunga teratai. Patung yang dipajang diatas sebuah altar doa, dekat kolam ini adalah tiga tokoh penting yakni Sang Budha yang diapit oleh Dewi Kuam In dan Biksu Tong dalam cerita Kera sakti.

Relief tiga lelaki yang ada di depan kolam pun mempunyai arti umur panjang symbol dari lelaki tua berjanggut putih, lelaki yang ditengah menjadi symbol sandang pangan dan lelaki yang menggendong bayi adalah mempunyai anak dan cucu. Tak kalah menariknya sebuah relief dari atap klenteng yang berupa sepasang naga. Naga menurut kepercayaan mereka adalah seekor hewan yang sangat sakti dan pelindung.

Sebelum menuju Klenteng Tang Seng Ong, terdapat sebuah sekolah, di lihat dari depan pintu gerbangnya masih merupakan bangunan lama. Di sekolah ini dahulu digunakan sebagai sebuah organisasi modern di Batavia bernama Tiong Hoa Hwee Koan ( Perkumpulan Tiongoa ) yang merupakan reaksi masyarakat Tionghoa terhadap kebijakan pemerintah Belanda yang tidak memberikan pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa. Akibat pesatnya perkembangan dari sekolah ini maka pemerintah kolonial Belanda menjadikan bangunan sekolah ini sebagai sekolah berbahasa Belanda ( HCS ). Namun setelah pemerintahan Orde Baru bangunan diambil alih dan dirubah namanya menjadi SMU 19.

Selain sekolah juga ada sebuah rumah yang sudah menjadi cagar budaya karena fisik bangunannya yang sudah lama. Atap bangunannya menyerupai ekor walet yang menandakan status sosial yang cukup berada di Batavia bagi kaum Tionghoa sedangkan bagi kebanyakan atap rumah warga Tionghoa berbentuk pelana kuda. Walaupun mungkin di negeri asalnya tidak ada perbedaan bentuk bangunan untuk mereka yang berbeda status sosialnya.

Kawasan pecinan Glodok yang terkenal adalah Petak Sembilan. Dari sebuah kawasan yang dahulu merupakan kawasan perdagangan dengan sembilan petak dikenalah dengan nama Petak sembilan. Klenteng yang terkenal dan cukup tua adalah Jin De Yuan dan Toasebio bahkan sampai sekarang banyak dikunjungi untuk berdoa ataupun sebagai tempat wisata. Ada juga sebuah gereja bergaya Tionghoa bernama “Gereja St. Maria de Fatima”. Pada tahun 1949 China jatuh ke tangan komunis sehingga ditinggalkannya tempat dataran China, banyak dari orang-orang China sendiri yang pergi dari negaranya termasuk juga para Jesuit yang ada disana kemudian masuk ke Batavia.

Dari sebuah buku mengenai sejarah 50 tahun Gereja St. Maria De Fatima , di sebut pada tahun 1953 dibelilah sebidang tanah di daerah pecinan dengan seluas satu hektar yang meliputi kompleks Gereja hingga pagar tinggi di sisi belakang dan kompleks sekolah Ricci I sekarang ini, tanah tersebut dibeli dengan harga Rp. 3.000.000,00 dari seorang kapitan (sebutan untuk seorang Lurah keturunan Tionghoa di Zaman penjajahan Belanda) bermarga Tjioe. Ia adalah seorang bangsawan Cina yang kaya raya. Pembayaran tanah tersebut dibayar dengan cara mengangsur.

Barulah pada tahun 1954 ketika Pater Matthias Leitenbauer SJ tiba di Jakarta, tanah dan bangunan di atasnya resmi menjadi milik gereja. Nama St de Fatima diambil dari sebuah cerita tentang penampakan Bunda Maria kepada tiga anak gembala seperti yang tergambar dalam relief gua maria di samping gereja.

Di depan bangungan utama tersebut terdapat dua buah patung singa, yang mana patung singa itu merupakan lambang kemegahan bangsawan Cina. Konon di halamannya yang luas terdapat pula pohon sawo kecik dan pendopo joglo berlantai tinggi dan tanah tersebut di kelilingi pagar bertembok tinggi.

Perjalanan diakhiri di Museum Mandiri dimana awal perjalanan dimulai dan juga sebagai tempat berkumpulnya para peserta Jelajah Kota Toea. Museum Mandiri sendiri merupakan bangunan tua dan bersejarah. Dahulu bernama NHM ( kantor dagang maskapai ) milik Pemerintahan kolonial Belanda. NHM ini didirikan pada tahun 1929 dan diresmikan pada tanggal 14 Januari 1933 oleh Presiden NHM. Cirinya ada terdapat lukisan kaca patri. Saya dan peserta diajak berkeliling mengenal Museum Mandiri yang banyak terdapat koleksi dan diorama dari kejayaan tempo dulu dimana tempat ini digunakan sebagai tempat penyimpanan asset berharga para warga Belanda di Batavia seperti yang terdapat di sebuah ruangan safe deposit. Loker, pintu baja yang sangat tebal , emas , juga sel-sel jeruji seperti dalam penjara menggambarkan suasana saat para nasabah dan petugas di bagian ini menyimpan dengan baik asset yang dipercayakan.

Hiburan diawal perjalanan yang menyenangkan ketika pertunjukan barongsai , sebuah tradisi kesenian Tionghoa di mulai. Musik khas yang dipukul dan dentuman lempengan piringan menambah suasana semakin meriah. Beberapa orang memasukan angpao ke dalam mulut barongsai tersebut. Sedangkan penutup acara , dijelaskan situasi dan tempat-tempat dari berbagai kota tempo dulu dari sebuah film dokumenter.

Menyenangkan bisa ikut kembali di kegiatan keliling menyusuri sejarah Kota Toea di Jakarta. Walaupun acara ini merupakan kedua kalinya pada event yang sama tetapi ada saja hal yang menarik yang baru dan mungkin belum ada pada perjalanan saya sebelumnya. Sehingga hal tersebut dapat menjadi suatu informasi yang menarik dan menambah wawasan yang baru bagi saya pribadi. Terima kasih Komunitas Jelajah Budaya .. semoga setiap orang yang ikut dalam event yang diadakannya membuat mereka termasuk saya pribadi semakin peduli akan budaya serta sejarah bangsa Indonesia, bangsanya sendiri.

Jakarta, 13 Februari 2011

Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com

Tuesday, February 08, 2011

Bedah Buku dan Review Museum di Indonesia

“Museum merupakan sebuah nama yang singkat. Akan tetapi, ditinjau dari pengelolaannya, nama ini tidak sederhana. Jika dikaitkan dengan konteks masyarakat dan Negara , nama museum justru semakin kompleks. Museum di beberapa Negara telah berkembang menjadi sebuah lembaga yang tidak dapat diabaikan keberadaannya karena telah menjadi tempat yang berperan penting bagi masyarakat Negara tersebut.”
Demikianlah yang tertulis pada awal paragraph Bab I dari sebuah buku yang berjudul Museum di Indonesia , Kendala dan Harapan karya Dr. Ali Akbar seorang dosen Arkeolog yang awal mulanya turut membantu mengatur tata letak dari Museum Bahari.

Kendala yang dialami oleh museum menurutnya pada sebuah acara bedah buku di Museum Mandiri, ditinjau dari definisinya adalah Museum di Indonesia dianggap sebagai tempat menyimpan barang saja. Sedangkan di beberapa Negara , museum adalah tempat yang berguna bagi masyarakatnya karena memiliki peranan yang sangat penting sebagai pelajar , tempat interaksi, sebuah komunitas dan sebagi media komunikasi. Buku ini juga mengulas beberapa museum di luar negeri seperti Jerman, Belanda , Pracis , Belgia , India , Malaysia , SIngapura dan Vietnam dari hasil observasinya untuk mengkaji dan dicarikan jalan keluar dari kendala-kendala yang dihadapi oleh museum-museum di Indonesia.

Beberapa pandangan negatif masyarakat umum di Indonesia mengenai museum adalah kuno , kusam , ketinggalan jaman, seram, tempat yang terlalu serius , sia-sia karena tidak akan mendapatkan apa yang diharapkan, sepi sehingga dapat dijadikan untuk lokasi pacaran dan lain sebagainya. Termasuk dengan perkataan bagi pegawai yang dimutasikan ke bagian lain atau dianggap dibuang menyebutnya “dimuseumkan” Oleh sebab itu , sangat diharapkan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki museum dapat merubah cara pandang masyarakat mengenai museum itu sendiri.

Apa saja yang menjadi kendala dari museum –museum yang diIndonesia juga dipertanyakan juga oleh beberapa orang yang hadir adalah sumber daya yang dimiliki oleh museum tersebut. Jawaban penulis buku ini membuat saya terus mengiangnya ketika membahas mengenai pengawai yang pensiun dari museum. Ia menjawab bahwa disebuah museum di luar negeri tanpa menyebut nama museumnya, pegawai yang akan pensiun tidak akan duduk-duduk saja tanpa melakukan apapun, melainkan berfikir karya apa yang akan diberikan olehnya sebelum pensiun untuk museumnya. Oleh sebab itu pegawai itu akan melakukan sesuatunya tidak diam saja sampai waktu pensiunnya tiba.

Memang, belum diketahui apa sebenarnya yang diingini masyarakat tentang museum juga rasa bangganya mereka yang telah bekerja di museum. Mungkin hal-hal seperti ini dapat dimulai dari museum itu untuk bercerita atau membagi pengalamannya kepada umum sehingga sedikit membuka pikiran masyarakat umum mengenai kondisi atau harapan terhadap museum selanjutnya.

Sudah mulai banyak orang-orang yang tertarik untuk berkunjung ke sebuah museum. Namun kadang dimuseum tersebut tidak ada seseorang yang memandu para pengunjung untuk memperkenalkan isi dari museum tersebut. Sehingga pengunjung hanya mendapat sedikit informasi dari barang-barang yang dikoleksi museum atau hanya sekedar mampir saja. Ada juga di bahas dibuku ini, jam-jam yang diberlakukan sebuah museum hanya terbatas sampai jam 5 sore.Mungkin dapat diberlakukan suatu saat nanti ada waktu kunjungan sampai malam.

Bedah Buku mengenai Museum di Indonesia tentang Kendala dan Harapannya adalah sedikit cara yang digunakan untuk membuat saya dan teman-teman yang belum mengenal museum untuk lebih mencintai museum. Sehingga Museum bukan lagi sebuah tempat tanpa makna tanpa pengujung semakin jauh dan dilupakan orang.

Terakhir , saya kutip tulisan dari buku ini sebagai penutup tulisan saya :
“Museum masa kini adalah sebuah system yang kompleks yang sulit dikerjakan oleh satu atau dua orang saja. Belum tentu museum yang pengelolanya lebih banyak akan lebih baik dibandingkan museum yang pengelolanya lebih sedikit. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai pengelolaan museum yang hakiki adalah motivasi dan empati pada koleksi ditambah tanggung jawab pada organisasi, teamwork yang kuat serta integritas yang tinggi untuk memberik manfaat bagi masyarakat.”


Jakarta , 06 Februari 2011
Veronica Setiawati

Note :
* Judul buku Museum di Indonesia - Kendala dan harapan
• Penulis : Dr. Ali Akbar
• Penerbit Papas Sinar Sinanti – Anggota IKAPI Jakarta 2010

Friday, February 04, 2011

Suasana Imlek Dari Pecinan Kota Tua Hingga Bogor.

Perayaan Imlek yang memasuki tahun Kelinci , sangat meriah ya mungkin menurut beberapa orang sih tidak seramai tahun-tahun yang lalu. Nuansa warna merah memenuhi kawasan pecinan Petak Sembilan. Sekumpulan para pencari berita sudah berada disana entah sejak kapan. Hilir mudik orang-orang yang akan sembahyang dan mereka yang meliput serta hanya ingin mengabadikan beberapa photo suasana Imlek memadati sebuah klenteng yang cukup terbilang tua usianya.

Pedih mata saya karena asap dari kertas-kertas doa yang sudah dibakar membuat saya menyingkir dari klenteng tua tersebut. Tidak jauh , ada sebuah klenteng yang lain, tidak terlalu besar dan tidak padat yang mengunjungi. Namun di halamannya berjejer para pengemis yang menanti angpau. Di tempat ini teman saya lebih leluasa untuk mengambil beberapa photo. Cukup banyak turis asing yang datang mengunjungi klenteng tua ini.

Selepas dari klenteng tua , menyusuri sepanjang jalan Petak Sembilan lalu singgah pada sebuah Gereja tua bergaya Tionghoa. Tidak seramai di klenteng tua itu, tetapi ada beberapa turis asing yang juga singgah disini. Gereja ini tertutup dan tidak ada seorangpun yang dapat masuk ke dalamnya. Begitu juga dengan sebuah vihara yang lain tidak jauh dari Gereja. Hanya beberapa orang yang hendak bersembahyang yang ada terlihat di sana. Sepanjang jalan yang kami lalui pun tidak macet oleh kendaraan seperti hari-hari biasa. Lewat sebuah gang , perjalanan kami lanjutkan menyusuri sepanjang jalan pasar pagi lama.Toko-toko banyak yang tutup dan sedikit lengang.

Tidak demikian ketika berada di lorong yang menghubungkan antara stasiun dan halte bustransjakarta. Ramai sekali dilorong , hujan gerimis yang sempat datang juga semakin menambah jumlah orang. Kemudian kami memutuskan untuk ke Bogor dengan kereta. Sesampainya di kota Bogor, kedatangan kami disambut hujan. Biarpun begitu, stasiun Bogor sangat penuh sesak dengan para penumpang yang akan meninggalkan atau baru saja sampai di Kota Bogor.

Disebuah mall yang tidak jauh dari Tugu Kujang Kota Bogor. Ketika berada di sebuah store yang menjual aneka bahan hasil karya mahasiswa IPB, ada sebuah pertunjukan barongsai. Musik keras dari sebuah alat yang dipukul menggemakan isi ruangan. Seekor ular naga yang dibawa oleh beberapa orang menghampiri store dimana kami berada untuk mengambil Angpao ( amplop merah ) yang tergantung di di rolling door store. Tidak lama muncul dua buah barongsai warna merah dan kuning.

Seketika itu juga penuh orang mengelilingi store yang tidak jauh dari pintu masuk ini. Mereka mengabadikan moment menghibur dengan dengan kamera handphone dan saya pun tidak ketinggalan. Beberapa adegan lucu dari tarian barongai seperti ketika akan mengambil amplop merah namun tidak kesampaian. Beberapa kali mencoba akhirnya angpao tersebut dapat diraih oleh mulut sang barongsai merah. Kalau yang warna kuning hanya meliuk liuk diantara pengunjung dan dipakai untuk berfoto oleh sebagian pengunjung. Namun, setelah angpao sudah diterima mereka berjalan lagi menuju store yang lainnya.

“ Selamat Tahun Baru Imlek “
Jakarta –Bogor, 03 Februari 2011
Veronica Setiawati
http://g1g1kel1nc1.blogspot.com