Kraukk.com

728 x 90

Monday, October 22, 2012

Mengintip Kolam Air Pemandian Raja.


Yogjakarta selalu menjadi tempat istimewa bagi siapa saja yang datang mengujunginya. Selalu ada cerita setiap datang ke sana. Begitupun ketika saya datang mengujungi salah satu tempat pemandian para raja yang tidak jauh dari Kraton Yogyakarta. Taman Sari, itulah namanya sebuah nama tempat pemandian para raja Kesultanan Yogyakarta. Dan mendengar nama pemandian ,  membuat saya membayangkan seperti apa rasanya mandi disana haha.. 

-- Saka Tunggal --
Kompleks Taman Sari dikelilingi tembok putih yang memanjang disepanjang jalan dan masih berjalan kaki sekitar kurang lebih 100 meter  ke dalam kompleks pemandian. Tetapi, sebelum masuk ke dalam kompleks pemandian tersebut, ada sebuah bangunan lain yang tak boleh dilewati. Masjid Saka Tunggal Kraton  sangat anggun berdiri dengan bentuk bangunan seperti pendopo rumah dengan warna putih krem. Saya merasakan ketenangan ketika memasuki rumah ibadah ini.

Saya mengintip bagian dalam masjid dan melihat tiang yang tunggal menjadi nama masjid ini. Di tengah bangunan masjid, terdapat sebuah tiang yang besar, berwarna coklat, dengan ukiran yang sangat menawan, menjadi penyangga sampai ke atas langit-langit masjid. Masjid Saka Tunggal seperti ini kedua kalinya saya datangi, yang pertama ketika berada di Purwokerto ke arah Ajibarang dan disana masih melihat sekumpulan kera yang siap “menggoda” para pengujung masjid.

Setelah puas melihat Masjid Saka Tunggal Kraton Jogya yang diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX ini, perjalanan saya lanjutkan memasuki gerbang gapura Taman Sari. Seperti halnya sebuah istana, di pintu gerbang atau gapura Taman Sari mempunyai dua buah bangunan gardu yang letaknya di kiri dan kanan pintu gerbang. Gerbang tinggi seperti dipintu masuk Taman Sari juga terdapat dibagian belakang Taman Sari.

Saya membayangkan betapa dulu penjagaan disini begitu ketat karena di sini merupakan tempat peristirahatan raja beserta keluarga.  Apalagi kompleks Taman Sari ini begitu luas dan tertutup . Kalau tidak ada yang menjaga, bagaimana mereka bisa istirahat dan mandi dengan tenang yaa... Presiden saja dapat penjagaan  :D

Setelah melewati gerbang dari taman sari , di dalamnya ada sebuah taman dan pot-pot tanaman disisi kiri dan kanan serta ada bangunan lain sebanyak empat buah. Dulunya bangunan tersebut diperuntukan untuk apa ya? Kalau menurut guide , bangunan terserbut menerima para tamu atau pejabat kesultanan. Karena tempat pemandiannya ada di dalam setelah taman ini. 

Tempat pemandiannya seperti kolam renang , dikelilingi tembok yang tinggi serta beratapkan langit. Memang tempat yang sangat tenang untuk sebuah privasi tetapi sekarang disekelilingnya sudah banyak pemukimana warga. Kolam pemandian ada dua dan di apit dua buah bangunan. Dan satu lagi sebuah kolam yang besar ada dibelakang bangunan yang memiliki menara dua lantai. 

-- Tempat raja memantau --
Bangunan yang memanjang yang ada disebelah kanan itu digunakan para istri raja atau para perempuan untuk mengganti pakaian dan bagunan yang satu dengan menara yang tinggi untuk raja. Wah, bagaimana ya dulu para perempuan yang menjadi istri atau selir raja mandi bersama dalam satu kolam? Hihi.. Pikiran nakal saya jadi muncul. 

Dikatakan , menara tinggi yang ada di sisi kiri kolam biasanya raja selalu memantau para perempuan yang mandi disana. Dari atas sana pula, raja dapat memilih perempuan mana yang menemaninya mandi dan bila perlu menemaninya sampai ke peraduan. Glek! Enak banget ya jadi raja hehe..

Iseng saya bertanya dengan guide, “Pak, seandainya perempuan itu tidak mau melayani sang raja bagaimana?” . Jawabannya “Tidak boleh bilang tidak mau, siapapun yang sudah ditunjuk oleh raja, dia harus mau.” Duh , nasibmu nak kaum perempuan. Jadi nelangsanya hati ini, bersyukurlah ada ibu RA Kartini yang berhasil me“merdeka”kan perempuan.

Di bangunan yang ada menarannya tersebut, ada sebuah ruangan yang atasnya dipasang dipan / papan coklat seperti bentuk tempat tidur. Menurut pak guide, disinilah sang raja dan perempuan pilihan raja melakukan hubungan selayaknya suami istri. Dan dibawahnya ada tiga buah lubang yang dipasang tungku untuk membantu memanaskan ruangan.

Sekarang bangunan tersebut menjadi bangunan bersejarah karena sudah tidak memungkinan raja yang saat ini memimpin mandi disana bersama para keluarganya. Apalagi para pengunjung yang ingin mencoba mandi, karena kolam tersebut sudah dipenuhi dengan lumut. Sekarang kompleks pemandian tersebut menjadi tempat wisata yang menarik karena bangunan yang unik  dan menjadi salah satu sejarah di Yogya. 

-- di lorong kompleks Taman Sari --
Selain kolam air , juga ada bangunan lain dekatnya. Bentuknya lorong yang panjang, tingginya hampir dua meter. Saya pernah memasukinya saat bangunan tersebut direnonasi sekitar tahun 2010.  Banyak sekali lorong-lorong yang menghubungkan sejumlah ruangan.

Di sisi lainnya terdapat sebuah bangunan yang berbentuk lingkaran yang dipergunakan sebagai masjid oleh warga kraton. Bangunan masjid ini sangat unik karena berbentuk lingkaran dan berlantai dua dengan pintu yang menyerupai jendela di tiap lantai. 

Di dalam ruangan yang melingkar tersebut terdapat tangga untuk naik ke lantai di atasnya. Di bawah tangga terdapat sebuah sumur yang digunakan sebagai tempat berwudhu, namun sekarang sumur tersebut sudah ditutup karena dikhawatirkan dapat membahayakan para pengunjung karena umur bangunan yang sudah sangat tua. Tembok-tembok yang menempel di kanan kiri banyak yang sudah mengelupas dan sedang direnovasi.

Eksotisme Taman Sari tidak pudar hingga saat ini. Tempat ini menjadi latar pemotretan model, juga para pembuat foto prewedding. Lokasi yang berdekatan dengan pasar Ngasem ini menjadi rekomendasi paling banyak diberikan mereka yang mengabadikan diri saat ingin melepas lajang, Tetapi saya, melanjutkan perjalanan lagi setelah dari tempat ini.

 @Yogyakarta
Veronica Setiawati
*Lanjutan dari Cerita Dari Magelang Part 1*

Sunday, October 14, 2012

Dalam Pelukan Kabut Dieng


mendaki bukit sikunir - doc. pribadi
Sempat merasa tidak percaya diri, ketika diberitahukan esok pagi-pagi sekali akan melakukan ritual menyaksikan matahari terbit. Ritual tersebut adalah bangun subuh lalu melakukan pendakian ke atas bukit dan menyaksikan terbitnya matahari.

Rasa tidak percaya diri karena sudah lama tidak “berolah raga” , coba aku tepis dan menyakinkan diri pasti bisa sampai ke atas sana. Apalagi sudah jauh-jauh dari Jakarta , kenapa tidak melihat indahnya matahari pagi yang tak pernah bisa aku saksikan di rumah. Baiklah, akhirnya aku berangkat.

Saat adzan berkumandang syahdu , memanggil setiap umat untuk beribadah, aku sudah mempersiakan diri untuk memulai perjalanan ini. Rasa kantuk dan udara dingin yang menyengat, sempat menyerang untuk menghalangi niatku. Untunglah segarnya air cukup membantu menghilangkan rasa kantuk tetapi tidak dengan udara dinginnya , menghembuskan nafas pun terlihat asap putih keluar dari mulut, hehe..
 
Hari masihlah gelap dan jalanan pun masih sepi, saat bus meluncur menuju tempat yang akan dituju yakni Bukit Sikunir. Angin sangat dingin dari balik kaca minibus membuatku semakin menggigil. 

Hmm.. aku teringat akan makanan tongseng yang aku makan sore kemarin itu. Walaupun disajikan panas-panas tetapi karena udara yang dingin di Dieng, dalam sekejab saja tongseng tersebut sudah menjadi dingin. Begitu juga dengan air mineral yang aku punya di kamar, esok paginya sudah dingin. Tinggal di Dieng, sudah tidak butuh kulkas empat pintu lagi , apalagi AC.

Perjalanan menuju lokasi Bukit Sikunir itu ternyata lumayan jauh dan dipenuhi kabut yang pekat. Herannya, supir yang membawa bus tersebut hafal sekali jalan yang dilalui, apalagi jalan tersebut termasuk jalan yang muat satu kendaraan mobil saja. Kabut menutupi jalan didepan dan seluruh tempat hingga sampai di lokasi parkir.

Oia, ketika masih dalam perjalanan, aku teringat akan perbincanganku dengan dua orang pemandu yang berada di Telaga Warna. Mereka mengatakan kalau nanti ke Bukit Sikunir akan melewati sebuah lokasi pembangkit tenaga listrik dengan memakai gas bumi. Mereka mengatakan bahwa listrik-listrik disekitar Dieng, memakai sumber listrik dari tempat tersebut. Aku hanya mengangguk sendiri ketika melihat lokasi tersebut, apalagi pipa-pipa yang besar melintang dan membayangkan seperti apa penyebaran penggunaan listrik dari tempat ini hingga sampai ke rumah-rumah penduduk dibawah sana?

diatas bukit sikunir - doc pribadi
Tiba di pelataran parkiran yang masih terdapat rumput. Tanpa tahu kalau di dekat parkiran tersebut digunakan sebagai tempat berkemah bagi para pengunjung yang hendak menginap sambil menunggu matahari terbit. Maklum saja, kabut tebal menutupnya dan pikiranku hanya tertuju mendaki bukit yang ada didepanku.

Perjalanan mendaki dimulai. Dari papan yang dipasang dibawah, aku mencatat dalam otakku jarak yang ditempuh 1 km. Tapi kabut tebalnya dihadapanku , tidak bisa melihat dikiri atau kanan jalan itu ada apa. Tetapi untungnya, cuaca sudah sedikit terang dan samar-samar diantara kabut bisa terlihat jalan. 

Perkebunan kentang mengawali langkah kaki ke tanjakan yang lebih tinggi lagi. Nafas mulai tersengal , tetapi ada sebuah kerinduan muncul dengan suasana dan pendakian seperti ini. Perasaan harus sampai ke atas kembali memacuku melewati tanjakan tanah berdebu. Setengah perjalanan, pandangan mata ku alihkan kepada pepohonan yang sudah tampak hitam. Sepertinya hutan di bukit sikunir ini terbakar atau sengaja dibakar. Sebagian besar habis menjadi gosong menghitam sampai ke pucuknya. Sungguh prihatin!

Jauh diseberang sana dibalik kabut , bukit hijau menjadi pemandangan yang amat memukau. Hadiah dari letih dan perjuangan mendaki bukit ini untuk melanjutkan melihat munculnya matahari terbit dan gunung-gunung yang mengitari tempat ini. Namun sayang, tujuan tersebut tidak tercapai. Mataharinya tertutup kabut dan hanya sepersekian menit dia menampakan diri lalu tertutup kabut lagi. Tidak jadi masalah, toh pemandangan yang memukau dengan latar kabut sungguh membuat mataku dimanjakan. 

Ketika turun bukit ternyata dibawah ada ojeg motor. Sengaja orang itu ada untuk mengantar pengunjung yang tidak sanggup lagi berjalan sampai ke tempat parkir. Kabut masih enggan berpaling dari bukit dan sepanjang perjalananku. Dari kejauhan tampak sebuah danau tapi masih belum jelas terlihat karena kabut masih menyelimutinya.

Telaga Merdada - Doc Pribadi
Surut air danau Cebong yang biasanya disebut, menjadi pembuka mataku. Kemarau yang hampir setahun ini tidak hanya menyurutkan Telaga Warna tetapi juga air yang ada di danau tempat aku berdiri. Dikejauhan panenan kentang sudah siap dalam keranjang. Dan sambil menunggu teman-teman yang lain datang, perlahan kabut menghilang dari pandangan.

***
Tempat yang tak kalah berkabutnya adalah Telaga Merdada. Tempatnya terpencil dan dikelilingi bukit. Perlahan kabut memenuhi telaga ini membuat udara semakin dingin dan sunyi tak betuan. Tetapi, bagiku ada keindahan tersendiri ketika telaga ini ditutupi kabut. Ditepian telaga terdapat ladang milik warga. 

Konon , tempat ini penghasil jamur terbesar se-Asia Tenggara. Akibat kecemburuan sosial dalam perusahaan tersebut, akhirnya mengakibatkan kerugian yang amat besar termasuk kepada penutupan perusahaan. Dan sayangnya, yang seharusnya dapat membantu warga disekitarnya mempunyai penghasilan dari usaha tersebut, karena keegoisan para petinggi perusahaan akhirnya banyak yang menjadi korban dan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, kecuali tinggal kenangan.

Rasanya kabut itu seperti mendekapku erat , ketika di Kawah Sikindang pun kabut seperti tak ada habisnya. Aroma seperti telor busuk mengawali jejak langkahku tiba di kawah yang katanya dalam dunia pewayangan sebagai tempat digodoknya ( direbusnya ) Gatot Kaca sehingga menjadi kuat berotot besi tulang baja. Wuiih seperti apa sih kawah itu? Jadi penasaran.

Kawah Sikindang - Doc Pribadi
Para pedagang sudah seperti semut menawarkan masker penutup hidung. Karena dari lokasi parkiran kendaraan aroma kuat tak sedap itu sudah tercium sangat kuat. Benar, bau belerang dari kawah sangat kuat dihembuskan oleh angin. Oleh sebab itu dengan harga Rp 2.000 , aku membeli masker untuk menutupi hidungku.

Dieng, memang terletak di dataran tinggi di Pulau Jawa. Selain telaga yang bisa dilihat, ternyata Dieng juga menyimpan sumber daya mineral lain berupa belerang. 

Kalau mau dilihat juga mungkin tidak akan menarik , karena hanya tempat yang penuh asap belerang dan tandus. Beberapa orang mengambil kesempatan dari tempat ini dengan menyediakan jasa foto dan cetak dengan hewan kuda yang dibawa mereka dengan biaya sangat terjangkau kurang lebih Rp 10.000,-. 

Lainnya lagi menjual batu-batu belerang dan lumpur belerang sebagai obat. Sungguh kreatif! Di dekat parkiran kendaraan dekat pintu masuk pun banyak juga yang berjualan oleh-oleh yang dapat dibawa pulang. 

Kawahnya sendiri berada agak jauh diatas dan hanya dipagari dengan pagar bambu. Padahal letupannya melebihi air mendidih dalam kuali yang besar. Air kawahnya yang bergejolak itu hitam pekat dan panasnya , ampun deh. Untung saja , kawasannya mempunyai udara yang dingin dengan kabutnya sehingga walaupun panas uap yang dihasilkan dari kawah tetapi disekitarnya terasa dingin.

Telaga Menjer - Doc Pribadi
Jangan nekat pula untuk bunuh diri dengan cara menyemplungkan diri ke dalam kawah. Tidak akan berubah menjadi Gatot kaca melainkan tinggal nama. Menurut cerita pernah ada yang nekat bunuh diri di kawah tersebut, iih ngeri membayangkannya. 

Satu kawasan terakhir yang menjadi kunjungan adalah Telaga Menjer. Dibandingkan telaga yang sebelumnya ada di Dieng, telaga ini tergolong cukup luas sebab seperti waduk dan sepertinya untuk pengairan. Bukit yang ada disekelilng telaga ini masih hijau jadi seger mataku melihatnya. Pohon pinus pun banyak terlihat di tempat ini dan mungkin itu juga pohon-pohon tersebut hasil menanam pohon para wartawan sehingga ada sebutan Bukit Wartawan.

Untuk menuju telaga , cukup dengan menuruni anak tangga lalu sampai dibibir telaga. Ada beberapa perahu yang siap mengantar siapapun yang ingin berkeliling. Tarifnya Rp 30.000 per orang satu perahu. Telaga Menjer memiliki luas sekitar 70 ha dan memiliki kedalaman sekitar 50 meter. Sebelum kembali ke Jakarta, aku menyempatkan diri untuk menikmati pemandangan disekitarnya yang dapat membuat siapapun betah berlama-lama disini. 

@Dieng
Veronica Setiawati
*dalam perjalanan bersama Photopacker Photopackers*

Sunday, October 07, 2012

Mari Berkenalan Dengan Negeri Khayangan.


Dieng itu selain udaranya dingin dan tempatnya tenang banget, ternyata menyimpan budaya yang kental. Aku sampai berfikiran kalau bisa tinggal di tempat ini karena bisa buatku lupa akan Jakarta. Tempat yang juga mempunyai arti daerah pegunungan dimana para dewa  dan dewi bersemayam, mempunyai candi-candi peninggalan Hindu yang menawan dan misterius.

Kompleks Candi Arjuna
Bila tiba di Dieng, tidak lengkap rasanya bila belum menikmati sajian kuliner khas tempat tersebut, yakni Mie Ongklok. Unik ya namanya dan rasanya pun juga. Kalau memperhatikan cara memasak dan disajikan kepada aku dan teman-teman juga berbeda dari mie yang ada di Jakarta.

Mie kuning seperti mie ayam yang umum dijual diJakarta itu di rebus tetapi memakai alat bantu sehingga mie tersebut nanti dengan mudah ditiriskan dan siap disaji. Alat bantu merebus mie itu terbuat dari anyaman bambu, bulat menyerupai mangkok kecil dan disambung dengan batang bambu yang kecil. Aku membayangkan melihat alat tersebut seperti alat untuk menyerok ikan di got, sewaktku kecil hehe..

Setelah mie tersebut matang, sebelum dihidangkan akan di “Ongklok” yang berarti di kocok atau di tiriskan sampai air rebusan yang sudah dibumbui tidak ada sama sekali. Nah, itulah mengapa mie tersebut disebut “Mie Ongklok”. Lainnya, karena berbeda saat dihidangkan. Mie tersebut di tambah dengan kuah yang kental dan ditambahkan daging ayam serta sate beserta kerupuknya. Untuk mengisi kekosongan perut saat berada di udara dingin hmm… boleh lah.

Lalu bila sudah berada di Dieng akan menginap dimana? Aku melihat banyak rumah penduduk yang dijadikan tempat menginap dan harganya relatif murah. Dan tidak pula kawatir soal tempat makan, karena banyak dijumpai termasuk bila ingin dapat uang cash tanpa harus ke ATM. Caranya? Belanja sesuatu di Indomaret dan ambil tunai dengan debit hehe…

Malam hari di Dieng sangatlah dingin menusuk tulang. Kaki menyentuh lantaipun sudah tidak mau aku rasakan. Karena efek dari udara dingin adalah ke kaki menjadi keram dan itu sangat menganggu sekali buatku. Tapi walaupun merasakan amat sangat dinginnya, untuk mandi itu wajib. Ternyata seger banget loh.

salah satu candi - doc pribadi
Seperti yang aku katakan sebelumnya, Dieng memiliki satu komplek atau kawasan candi yang luas. Lokasinya pun tidak jauh dari tempat penginapan dan dapat dijangkau dengan berjalan kaki. Sambil menikmati suasana Dieng yang sejuk, aku mengamati ladang-ladang warga yang berada di sepanjang jalan menuju pintu masuk kawasan candi. 

Umumnya para warga menanam kentang dan memang hampir seluruh tempat di Dieng akan terlihat ladang kentang. Iseng-iseng aku bertanya, kemana saja para warga ini menjual hasil panen kentang dan jawabannya beragam ada yang dibuat dinikmati sendiri atau di jual ke luar kota seperti Jakarta dan Kalimantan. Selain kentang, ada juga Carica. Sperti pohon pepaya tetapi lebih kecil buahnya dari pepaya. Biasanya buah tersebut dibuat manisan. Ada juga pohon Kemar atau disebut juga Terong Belanda. 

Kawasan candi Dieng yang dikenal dengan Komplek Candi Arjuna, mempunyai pemandangan yang sangat cantik. Perbukitan disekitar candi seperti memasuki sebuah kerajaan pewayangan yang terlupakan. Selain lima candi yang masih berdiri tegak , terdapat juga beberapa lokasi dari reruntuhan candi. Menurut seorang pemandu , bernama bapak Sumar, dikatakan kompleks candi Hindu yang tertua di Jawa. Di sini pun dapat menikmati indahnya matahari pagi berwarna keperakan.

Berada di Kompleks Candi Arjuna serasa berada dalam dunia pewayangan. Cerita dan tokoh pewayangan seakan nyata dengan beberapa lokasi yang disini. Menurut bapak Sumar, pemandu yang juga penduduk lokal , sudah diberitahukan sebelumnya bila saat mengambil foto ternyata ada penampakan pada hasil gambar ataupun melihat sesuatu dari tempat ini, jangan panik atau takut. Dan mengenai hal itu juga terjadi dengan beberapa temanku dengan ditemani bapak pemandunya. Mereka datang pada malam hari ke pelataran kompleks candi ini dan melihat pertunjukan sendratari dan ternyata disalah satu candi mereka melihat “sesuatu” berbentuk tarian kuda lumping dalam sekejab kemudian menghilang.

Di luar hal tersebut, Kompleks Candi Arjuna juga dijadikan tempat ritual dari pemotongan rambut gimbal anak-anak kecil yang ada di Dieng. Sebelumnya , dari penuturan seorang warga, lokasi ritual ada di goa dekat Telaga Warna. Namun, karena lokasi tempat yang tidak memungkinkan akhirnya dipindahkan ke Kompleks Candi Arjuna. Sayangnya, ritual pemotongan rambut gimbal tersebut sudah lewat beberapa bulan.

Rambut gimbal yang tumbuh di rambut anak-anak kecil, baik anak lelaki atau perempuan, bukan karena disengaja tetapi memang tumbuh menjadi gimbal dengan sendirinya. Dan itu adalah sebuah tradisi turun temurun dan pasti ada dibeberapa keluarga yang ada di Dataran Tinggi Dieng. Uniknya, pada saat tradisi dilakukan, permintaan dari anak yang rambut gimbalnya ini akan dipotong bila tidak dipenuhi oleh orangtuanya maka rambutnya akan kembali gimbal pada saat ruwatan.

lokasi mata air bimo lukar - doc pribadi
Menurut cerita dari bapak Sumar, permintaan anak-anak ini spontan diucapkan bahkan ada yang pernah meminta dari orangtuanya Topeng Reog yang asli ( kalau tidak salah denger neh ), tetapi belum dapat dipenuhi karena topeng tersebut ada di museum di Jakarta. Dan sampai sekarang, rambut anak tersebut tetap gimbal. 

Bapak Sumar sendiri, mengakui diapun pernah mengikuti ritual potong rambut gimbal sewaktu kecil, tetapi waktu itu permintaannya adalah ikan asin, untunglah dengan kondisi keuangan yang cukup akhirnya permintaannya dapat dikabulkan dan rambutnya menjadi lurus sampai sekarang dan tidak gimbal lagi.Permintaan anak-anak tersebut menurutnya bukan sembarang permintaan melainkan roh-roh leluhurlah yang meminta dari anak-anak tersebut. Bila ada waktu dan kesempatan bisa melihat ritual pemotongan rambut gimbal anak-anak Dieng tersebut.

Tidak jauh dari candi, terdapat juga sebuah mata air yang keluar dari batu purba. Lokasinya dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja. Menurut ceritanya tempat mata air ini adalah tempat Sang Bima Sena membersihkan diri. Oleh sebab itu dinamakan Tuk Bimo Lukar. Konon katanya mata air ini dapat menjadikan awet muda atau menjadi “Siro Ayu atau Serayu” apabila ada seseorang mencuci mukanya dari mata air tersebut. Bila ingin mencobanya silakan saja.

Oh ya, tidak jauh dari tempat cuci muka ini, ada sebuah benda cagar budaya yang mungkin belum banyak diketahui setiap orang yang datang ke Dieng. Benda Cagar budaya tersebut adalah Batu Kelir yang diyakini adalah sebuah bangunan menyerupai candi atau menyerupai benteng, entahlah. Bagiku ketika melihatnya, bangunan itu seperti bangunan yang setengah jadi, bersusun dari batu-batu seukuran batako dan sudah ditumbuhi rerumputan. 

Menyelamatkan cagar budaya bangsa sendiri , penting sekali ternyata agar suatu hari segala keunikan yang dimiliki tersebut tidak hilang begitu saja dan dapat diceritakan betapa kayanya negeri ini akan budaya dan peninggalan sejarah yang tak ternilai.


Veronica Setiawati
@Dieng 
*dalam perjalanan bersama Photopacker Photopackers*