Kraukk.com

728 x 90

Sunday, September 14, 2014

Pantai Cantik Itu Adalah Tanjung Papuma

Sewaktu saya ke Jember, saya diberi oleh-oleh teman saya sebuah pesiar. Saya tidak tau kemana teman saya yang sudah bekeluarga ini mengajak saya pesiar. Akhirnya tanpa banyak bertanya , saya ikut mereka yang telah menyiapkan satu motor lagi untuk saya. "Waah mau diajak kemana neh."  batin saya diam-diam.

reklame selamat datang ( doc pribadi )
Setelah perjalanan cukup jauh melewati kota Jember yang padat lalu lintas, lalu tibalah pada sebuah tempat yang membuat mata saya hampir copot. Dan tanpa sadar berteriak ke arah teman saya yang sudah cengar cengir sambil menganggukan kepala melihat saya. "HAA.. Tanjung Papuma ?"  Tapi saya heran juga sih , karena di balik daerah pebukitan itu ternyata ada sebuah pantai yang cantik, laksana kembang desa tercantik dan menjadi tujuan hati para pria.


Tanpa buang waktu, kami segera melaju motor masing-masing menyusuri jalan untuk sampai di pantai cantik itu. Wah ternyata kami melewati ladang jagung , tembakau dan hutan jati yang telah kering. Sempat putus asa sih , lalu dimana pantainya?
Pohon jati dan ladang ( doc pribadi )


 Tetapi kami masih menuju lokasi untuk bisa masuk ke pantai. Dan sampailah kami di sebuah jembatan , dimana disini merupakan  jalan pintu masuk untuk menuju pantai. Di sini kami berhenti dahulu untuk membayar tiket masuk pantai. 

jembatan sebagai pintu masuk ( doc pribadi )

harga tiket masuk ( doc pribadi )

 Dan samar-samar dibalik rimbunan pohon saya melihat laut yang biru dan pemandangan yang cantik.. Aaahh itu dia pantainya. Tidak sabar rasanya untuk lepas dari motor dan berlari ke arah pantainya. "Dari atas saja sudah terlihat cantik!" batin saya.


Ketika sudah tiba dekat pantai , dekat bibir pantai ada sebuah rumah ibadat Wihara yang menghadap ke laut, yakni Wihara Sri Wulan. Dan tidak jauh dari dari tempat di mana Wihara ini berdiri, saya melihat jejeran perahu nelayan berwarna warni. Semakin membuat meriahnya birunya laut dengan warna warni perahu mereka.
perahu nelayan yang bersandar ( doc. pribadi)
wihara sri wulan ( doc pribadi )

Perjalanan kami bukan berhenti di sini , melainkan berjalan ke atas lagi. Begitu selesai parkir motor, saya langsung berlari ke arah bibir pantai. Wooow , its amazing! Luar biasa indah pantainya. Tebing dan ombak yang menghantam menjadi pemandangan yang indah. Pasir putih yang lembut serta pantai ini begitu sepi , mungkin dapat di gunakan untuk berjemur diri. Apalagi nun jauh tepat di hadapan saya, ada seseorang , entah mencari apa, dekat batuan besar itu. Tidak takut dengan ombak yang datang.
batuan besar tepi pantai (doc pribadi)







indahnya pantai papuma (doc pribadi)



Memang pantaslah kalau pantai ini banyak dicari para pelancong karena memang kecantikannya. Kamera saya pun tak akan mampu menampung keindahan ini dalam foto-foto yang saya tampilkan. Karena hanya terbatas yang bisa saya sampaikan dari kecantikan dan keindahan pantai alami yang meneduhkan hati ini ini.


Pantai cantik itu adalah  Papuma ( doc pribadi )


Tetapi bila semakin banyak orang yang datang ke sini, apakah kelestarian alam dan kebersihan tempat seindah ini akan tetap sama? Entahlah, semoga pengelola pantai ini tidak hanya sekedar mencari uang dari para pendatang dan para pendatang seperti saya , juga dapat membantu untuk tidak merusak keindahan Pantai Papuma. Semoga saja...


salam
veronica setiawati

Saturday, September 13, 2014

Melaju Ke Kampung Tugu



Masih cerita perjalanan saya menuju Marunda yang berada di kawasan Utara dari Ibukota Jakarta ini, seakan tak lengkap bila tidak melanjutkan untuk singgah di Kampung Tugu.  Hati menjadi penasaran untuk alasan apa sehingga disebut Kampung Tugu dan lestari hingga saat ini.

Asal nama Tugu ternyata beragam versi. Pertama, karena ditemukannya sebuah prasasti tugu peninggalan kerajaan Tarumanegara di wilayah Cilincing ini, maka dinamai tempat penemuan tersebut adalah Tugu. Diduga juga , disekitar wilayah tersebut merupakan kerajaan dari Raja Purnawarman.

Prasasti Tugu dengan lima baris kalimat berhuruf palawa menyingkap pembuatan kanal dari Sungai Candrabagha (Kali Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Cakung) sepanjang 11 kilometer. Diperkirakan pembuatan kanal itu memiliki dua tujuan, yaitu meredam banjir dan untuk irigasi pertanian.

Versi lainnya lagi nama Tugu berasal dari kata Por-tugu-ese (Portugis).  Sejak penjajah Belanda masuk Nusantara dan menang dari Portugis, dan tentara Portugis yang menjadi tawanan di tempatkan dalam satu wilayah di daerah Cilincing ini kemudian menjadi satu perkampungan. Sehingga kawasan yang dihuni oleh orang-orang Portugis ini di beri nama Kampung Tugu. Dan sekarang mereka telah membaur dari sejak awal silsilah keturunan mereka.  

Versi lainnya , berarti yang ketiga ya. Nama Tugu berasal dari nama pembatas  wilayah yang waktu itu banyak terdapat di daerah ini.  Nama Tugu sekarang diabadikan untuk nama kelurahan, tetapi dahulu nama Tugu dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat, misalnya Kampung Tugu Batu Tumbuh, Kampung Tugu Rengas, Kampung Tugu Tipar, Kampung Tugu Semper, dan Kampung Tugu Kristen.

Dahulu wilayah Tugu ini merupakan tempat yang luas tanahnya yang dipergunakan untuk area persawahan penduduknya. Lama kelamaan semua itu dijual dan berubah menjadi tempat penyimpanan container yang keluar masuk pelabuhan Tanjung Priok. Bahkan akan sangat sulit ditemukan bentuk rumah asli dari penduduk Tugu ini. Hmm.. sangat disayangkan yah, kini hanya tinggal ceritanya saja.

Di Kampung Tugu, ada sebuah peninggalan sejarah yang sampai saat ini di lindungi , yakni sebuah bangunan rumah ibadah yang dikenal dengan nama Gereja Tugu. Sebuah Gereja yang dibangun oleh pemerintahan Kolonial Belanda untuk tawanan Portugis ini. Mereka dahulu memaksa untuk mengubah keyakinan para tawanan dan keturunannya ke Kristen Protestan.  Kemudian selanjutnya pada Tahun 1960 Gereja Tugu yang berlokasi di Jl. Raya Tugu Semper No. 20, RT 010/06, Kel Semper Barat, Jakarta Utara, ditetapkan dan di syahkan masuk menjadi anggota penuh GPIB.

Bentuk bangunan gerejanya mengingatkan saya akan Gereja Sion yang terletak di ujung jalan Pangeran Jayakarta , Kota. Bangunan yang juga merupakan gereja portugis diluar kota. Dan kedua bangunan tersebut memiliki bentuk arsitektur dan tata letak ruangan yang hamper serupa. Bagian dalam ruangan , terdapat barisan tempat duduk yang dahulu di gunakan untuk para kaum bangsawan dan barisan tempat duduk yang menghadap ke mimbar/altar adalah untuk para budak,awam atau orang biasa.

Di belakang gereja juga terdapat satu lokasi tempat pemakaman dan kalau dilihat dari nama-nama yang terdapat pada batu nisan tersebut, mereka yang dimakamkan adalah kaum keluarga dari orang-orang keturunan Portugis dengan nama belakang mereka . Komplek pemakaman ini bukan sembarangan komplek seperti pemakaman umum, Mayarakat tugu sepakat untuk membuat komplek pemakaman ini khusus bagi warga keturunan portugis. Yang dimakamkan disana ada kaitannya dengan pembangunan Gereja pada saat itu. Nenek moyang mereka yang dimakamkan disana lah yang membangun gereja GPIB Gereja Tugu..

Gereja Tugu juga memiliki Lonceng gereja yang terletak sekitar 50 meter dari gedung gereja. Anak lonceng yang tua kini di museumkan dan masih dapat dilihat. Dalam sebuah kotak kaca di teras sebuah rumah yang ada di dalam kompleks gereja tugu.

Uniknya pintu utama gereja tidak menghadap ke jalan raya , seperti saat saya masuk ke dalam komplek gereja. Melainkan menghadap ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari pekarangan gereja.  Mendengar cerita ternyata sungai kecil yang merupakan aliran dari Sungai Cakung ini merupakan jalur transportasi yang digunakan oleh warga sekitar atau mereka yang akan beribadah.  

Dan hal ini jadi muncul dipikiran saya. Mungkin saja dahulu kala ada halte untuk pemberhentian perahu , sehingga diketika ada penumpang yang turun di gereja tugu , maka petugas yang menjalankan perahu akan menepikan perahunya. Atau bisa saja seperti sekarang transportasi mahal adalah mobil pribadi, mereka pun juga punya perahu pribadi sendiri. Bisa jadi begitu kan, ya?? hehe..

Salam dari Penjelajah Kota Tua
Veronica  Setiawati
Jkt, 31 Agst 2014

Saturday, September 06, 2014

Marunda, Mencari Rumah Si Pitung.



Marunda saat ini sedang naik daun, karena pemerintah DKI Jakarta tengah memperbaiki tata kota wilayah di utara kota Jakarta ini. Sepanjang perjalanan mungkin terasa gersang. Yahh memang karena wilayah ini sangat dekat dengan laut. Bahkan perluasan pelabuhan tengah dilakukan saat ini.


Karena wilayah Marunda dekat dengan laut maka tentu akan dijumpai kawasan desa nelayan, dimana dapat dilihat penduduk nelayan yang sederhana dengan tempat tinggal yang dari bambu dan kayu, jauh dari kesan mewah.  Bahkan pemandangan para nelayan yang sedang menjala ikanpun dapat dilihat disini.  Tempat makan yang menghidangkan khas makanan laut dengan posisi menghadap ke pesisir pantai pun dapat dijumpai.


Lebih uniknya lagi, pada saat saya berkunjung ke pesisir utara Jakarta ini , ternyata di sekitar Marunda ini terdapat situs sejarah yang terkenal, yakni Rumah Si Pitung. Bagi masyarakat betawi pada masanya tentu nama Si Pitung ini tidaklah asing bagi telinga mereka. Tokoh pembela rakyat kecil yang disebut sebagai pahlawan mereka dari penjajahan Belanda.


Rumah Si Pitung, adalah sebuah rumah panggung terbuat dari kayu dan bentuknya memanjang.  Walaupun sekarang sudah mengalami renovasi pada bagian dasarnya , namun bentuk bagunan inti dari rumah ini tidak lah mengalami perubahan. Beberapa anak tangga  dari kayu yang digunakan sebagai jalan masuk menuju pintu utama masih tetap terjaga.  Dan disarankan bagi para pengunjung yang akan menaiki anak tangga untuk memasuki rumah tersebut dibatasi lima orang saja.


Mungkin banyak orang yang datang melihat Rumah Si Pitung ini akan bertanya, termasuk dengan saya juga, kenapa disebut rumah si Pitung? Apakah benar Si Pitung yang selalu lolos dari incaran penjajah Belanda ini benar tinggal disini? Nah, untuk itulah saya datang “blusukan”.


Dari berbagai sumber di dapat , termasuk ketika mengikuti kegiatan Jelajah Kota Tua bersama Komunitas Jelajah Budaya, dari situlah saya mengetahui bahwa Rumah Si Pitung yang sekarang menjadi situs sejarah ini dahulu sering di datangi oleh Si Pitung.  Dan karena SK Gubernur DKI Bpk  Ali Sadikin yang menjadikan Rumah Si Pitung ini sebagai salah satu tempat cagar budaya. Beruntung  kita punya salah satu pemimpin yang masih perduli dengan situs sejarah dan tidak meruntuhkan pada masa pemerintahannya. Jadi masyarakat Betawi khususnya dapat mengenal bahwa ternyata punya sosok pahlawan.


Di dalam Rumah Si Pitung dapat dibaca kisah dari perjalanannya yang mengalami “broken home” dan menjalani hidupnya sebagai seorang peternak. Uniknya selain membantu mencari nafkah untuk ibunya, Si Pitung ini juga mencuri untuk mencukupi kebutuhan rakyat miskin disekitarnya. Dan terakhir dikisahkan diusianya yang masih muda , sekitar usia 28 tahunan,  ia menghembuskan nafas yang terakhir. Ia di tangkap dan di tembak oleh penjajah Belanda karena penghianatan dari beberapa rekannya. Semoga semangat perjuangannya untuk membantu sesamanya yang kekurangan dapat ditularkan kepada generasi anak bangsa selanjutnya.


Oiaaaa, soal Rumah Si Pitung banyak yang unik loh dari perabotan rumah, ukiran, furniture yang dipasang di dalamnya. Mata seakan dimanjakan dan memory pengunjung seperti saya yang baru pertama kali datang , seakan dibawa ke masanya dahulu. Dinding yang tebuat dari kayu dan beberapa besi tua sebagai penyangga serta  semilir angin laut dapat membuat betah berlama-lama menikmati kesederhanaan rumah yang bercat coklat ini.


Rumah yang bentuk memanjang ini mempunyai beberapa ruang. Beranda atau teras tepat ketika menaiki anak tangga. Kursi , meja, kaca hias tempo dulu yang menempel di dinding dapat dengan jelas dilihat. Kemudian ruang tengah atau ruang tamu. Dan beberapa lukisan serta pigura dari perjalanan riwayat Si Pitung terpajang untuk dibaca. Kemudian ada kamar tidur lengkap dengan meja untuk berdandannya. Lalu bagian ruangan tempat berkumpul untuk makan bersama , lalu ruangan dapur lengkap dengan peralatan dapur yang masih memakai tungku dan terakhir adalah ruang teras belakang.


Rumah tersebut di dalam satu area yang dipagari dengan tembok. Sekarang selain rumah panggung si Pitung , juga dibangun dua buah bangunan yang serupa. Mungkin digunakan sebagai tempat penjualan hasil karya dari desa atau penduduk disekitar Pantai utara Kota Jakarta tersebut. Sehingga situs budaya sejarah yang sudah ada tetap lestari dan setiap orang yang datang dapat memperoleh cinderamata atau karya atau pengetahuan sejarah yang baru mengenai Rumah Si Pitung atau lebih lagi mengenai wilayah Marunda yang dahulu di kenal sebagai Marunda Kelapa.

Kan, asyik juga gaul  yah , sudah lahir di Jakarta dan tinggal lama di Ibukota eeh, tidak kuper untuk mengenal sejarahnya,.. Itu baru generasi top..Nantikan oleh-oleh perjalanan saya yang lain dari Marunda  ;d


Veronica Setiawati
Jkt, 31 Agustus 2014