mendaki bukit sikunir - doc. pribadi |
Sempat merasa tidak
percaya diri, ketika diberitahukan esok pagi-pagi sekali akan melakukan ritual menyaksikan
matahari terbit. Ritual tersebut adalah bangun subuh lalu melakukan pendakian
ke atas bukit dan menyaksikan terbitnya matahari.
Rasa tidak percaya diri
karena sudah lama tidak “berolah raga” , coba aku tepis dan menyakinkan diri
pasti bisa sampai ke atas sana. Apalagi sudah jauh-jauh dari Jakarta , kenapa
tidak melihat indahnya matahari pagi yang tak pernah bisa aku saksikan di
rumah. Baiklah, akhirnya aku berangkat.
Saat adzan berkumandang
syahdu , memanggil setiap umat untuk beribadah, aku sudah mempersiakan diri
untuk memulai perjalanan ini. Rasa kantuk dan udara dingin yang menyengat,
sempat menyerang untuk menghalangi niatku. Untunglah segarnya air cukup
membantu menghilangkan rasa kantuk tetapi tidak dengan udara dinginnya ,
menghembuskan nafas pun terlihat asap putih keluar dari mulut, hehe..
Hari masihlah gelap dan
jalanan pun masih sepi, saat bus meluncur menuju tempat yang akan dituju yakni
Bukit Sikunir. Angin sangat dingin dari balik kaca minibus membuatku semakin
menggigil.
Hmm.. aku teringat akan makanan tongseng yang aku makan sore kemarin
itu. Walaupun disajikan panas-panas tetapi karena udara yang dingin di Dieng,
dalam sekejab saja tongseng tersebut sudah menjadi dingin. Begitu juga dengan
air mineral yang aku punya di kamar, esok paginya sudah dingin. Tinggal di
Dieng, sudah tidak butuh kulkas empat pintu lagi , apalagi AC.
Perjalanan menuju
lokasi Bukit Sikunir itu ternyata lumayan jauh dan dipenuhi kabut yang pekat.
Herannya, supir yang membawa bus tersebut hafal sekali jalan yang dilalui,
apalagi jalan tersebut termasuk jalan yang muat satu kendaraan mobil saja.
Kabut menutupi jalan didepan dan seluruh tempat hingga sampai di lokasi parkir.
Oia, ketika masih dalam
perjalanan, aku teringat akan perbincanganku dengan dua orang pemandu yang
berada di Telaga Warna. Mereka mengatakan kalau nanti ke Bukit Sikunir akan
melewati sebuah lokasi pembangkit tenaga listrik dengan memakai gas bumi.
Mereka mengatakan bahwa listrik-listrik disekitar Dieng, memakai sumber listrik
dari tempat tersebut. Aku hanya mengangguk sendiri ketika melihat lokasi
tersebut, apalagi pipa-pipa yang besar melintang dan membayangkan seperti apa
penyebaran penggunaan listrik dari tempat ini hingga sampai ke rumah-rumah
penduduk dibawah sana?
diatas bukit sikunir - doc pribadi |
Tiba di pelataran
parkiran yang masih terdapat rumput. Tanpa tahu kalau di dekat parkiran
tersebut digunakan sebagai tempat berkemah bagi para pengunjung yang hendak
menginap sambil menunggu matahari terbit. Maklum saja, kabut tebal menutupnya
dan pikiranku hanya tertuju mendaki bukit yang ada didepanku.
Perjalanan mendaki
dimulai. Dari papan yang dipasang dibawah, aku mencatat dalam otakku jarak yang
ditempuh 1 km. Tapi kabut tebalnya dihadapanku , tidak bisa melihat dikiri atau
kanan jalan itu ada apa. Tetapi untungnya, cuaca sudah sedikit terang dan
samar-samar diantara kabut bisa terlihat jalan.
Perkebunan kentang
mengawali langkah kaki ke tanjakan yang lebih tinggi lagi. Nafas mulai
tersengal , tetapi ada sebuah kerinduan muncul dengan suasana dan pendakian
seperti ini. Perasaan harus sampai ke atas kembali memacuku melewati tanjakan
tanah berdebu. Setengah perjalanan, pandangan mata ku alihkan kepada pepohonan
yang sudah tampak hitam. Sepertinya hutan di bukit sikunir ini terbakar atau
sengaja dibakar. Sebagian besar habis menjadi gosong menghitam sampai ke
pucuknya. Sungguh prihatin!
Jauh diseberang sana
dibalik kabut , bukit hijau menjadi pemandangan yang amat memukau. Hadiah dari
letih dan perjuangan mendaki bukit ini untuk melanjutkan melihat munculnya
matahari terbit dan gunung-gunung yang mengitari tempat ini. Namun sayang,
tujuan tersebut tidak tercapai. Mataharinya tertutup kabut dan hanya
sepersekian menit dia menampakan diri lalu tertutup kabut lagi. Tidak jadi
masalah, toh pemandangan yang memukau dengan latar kabut sungguh membuat mataku
dimanjakan.
Ketika turun bukit
ternyata dibawah ada ojeg motor. Sengaja orang itu ada untuk mengantar
pengunjung yang tidak sanggup lagi berjalan sampai ke tempat parkir. Kabut
masih enggan berpaling dari bukit dan sepanjang perjalananku. Dari kejauhan
tampak sebuah danau tapi masih belum jelas terlihat karena kabut masih
menyelimutinya.
Telaga Merdada - Doc Pribadi |
Surut air danau Cebong
yang biasanya disebut, menjadi pembuka mataku. Kemarau yang hampir setahun ini
tidak hanya menyurutkan Telaga Warna tetapi juga air yang ada di danau tempat
aku berdiri. Dikejauhan panenan kentang sudah siap dalam keranjang. Dan sambil
menunggu teman-teman yang lain datang, perlahan kabut menghilang dari
pandangan.
***
Tempat yang tak kalah
berkabutnya adalah Telaga Merdada. Tempatnya terpencil dan dikelilingi bukit. Perlahan
kabut memenuhi telaga ini membuat udara semakin dingin dan sunyi tak betuan.
Tetapi, bagiku ada keindahan tersendiri ketika telaga ini ditutupi kabut. Ditepian
telaga terdapat ladang milik warga.
Konon , tempat ini
penghasil jamur terbesar se-Asia Tenggara. Akibat kecemburuan sosial dalam
perusahaan tersebut, akhirnya mengakibatkan kerugian yang amat besar termasuk
kepada penutupan perusahaan. Dan sayangnya, yang seharusnya dapat membantu
warga disekitarnya mempunyai penghasilan dari usaha tersebut, karena keegoisan
para petinggi perusahaan akhirnya banyak yang menjadi korban dan sama sekali
tidak menghasilkan apa-apa, kecuali tinggal kenangan.
Rasanya kabut itu
seperti mendekapku erat , ketika di Kawah Sikindang pun kabut seperti tak ada
habisnya. Aroma seperti telor busuk mengawali jejak langkahku tiba di kawah
yang katanya dalam dunia pewayangan sebagai tempat digodoknya ( direbusnya )
Gatot Kaca sehingga menjadi kuat berotot besi tulang baja. Wuiih seperti apa
sih kawah itu? Jadi penasaran.
Kawah Sikindang - Doc Pribadi |
Para pedagang sudah
seperti semut menawarkan masker penutup hidung. Karena dari lokasi parkiran
kendaraan aroma kuat tak sedap itu sudah tercium sangat kuat. Benar, bau
belerang dari kawah sangat kuat dihembuskan oleh angin. Oleh sebab itu dengan
harga Rp 2.000 , aku membeli masker untuk menutupi hidungku.
Dieng, memang terletak
di dataran tinggi di Pulau Jawa. Selain telaga yang bisa dilihat, ternyata
Dieng juga menyimpan sumber daya mineral lain berupa belerang.
Kalau mau
dilihat juga mungkin tidak akan menarik , karena hanya tempat yang penuh asap
belerang dan tandus. Beberapa orang mengambil kesempatan dari tempat ini dengan
menyediakan jasa foto dan cetak dengan hewan kuda yang dibawa mereka dengan
biaya sangat terjangkau kurang lebih Rp 10.000,-.
Lainnya lagi menjual
batu-batu belerang dan lumpur belerang sebagai obat. Sungguh kreatif! Di dekat
parkiran kendaraan dekat pintu masuk pun banyak juga yang berjualan oleh-oleh
yang dapat dibawa pulang.
Kawahnya sendiri berada
agak jauh diatas dan hanya dipagari dengan pagar bambu. Padahal letupannya melebihi
air mendidih dalam kuali yang besar. Air kawahnya yang bergejolak itu hitam
pekat dan panasnya , ampun deh. Untung saja , kawasannya mempunyai udara yang
dingin dengan kabutnya sehingga walaupun panas uap yang dihasilkan dari kawah tetapi
disekitarnya terasa dingin.
Telaga Menjer - Doc Pribadi |
Jangan nekat pula untuk
bunuh diri dengan cara menyemplungkan diri ke dalam kawah. Tidak akan berubah
menjadi Gatot kaca melainkan tinggal nama. Menurut cerita pernah ada yang nekat
bunuh diri di kawah tersebut, iih ngeri membayangkannya.
Satu kawasan terakhir
yang menjadi kunjungan adalah Telaga Menjer. Dibandingkan telaga yang
sebelumnya ada di Dieng, telaga ini tergolong cukup luas sebab seperti waduk
dan sepertinya untuk pengairan. Bukit yang ada disekelilng telaga ini masih
hijau jadi seger mataku melihatnya. Pohon pinus pun banyak terlihat di tempat
ini dan mungkin itu juga pohon-pohon tersebut hasil menanam pohon para wartawan
sehingga ada sebutan Bukit Wartawan.
Untuk menuju telaga ,
cukup dengan menuruni anak tangga lalu sampai dibibir telaga. Ada beberapa
perahu yang siap mengantar siapapun yang ingin berkeliling. Tarifnya Rp 30.000
per orang satu perahu. Telaga Menjer memiliki luas sekitar 70 ha dan memiliki
kedalaman sekitar 50 meter. Sebelum kembali ke Jakarta, aku menyempatkan diri
untuk menikmati pemandangan disekitarnya yang dapat membuat siapapun betah
berlama-lama disini.
@Dieng
Veronica Setiawati
*dalam perjalanan
bersama Photopacker Photopackers*
No comments:
Post a Comment
Hi all,
thanks for reading my post and give me some comments here.. :D