Kraukk.com

728 x 90

Sunday, October 14, 2012

Dalam Pelukan Kabut Dieng


mendaki bukit sikunir - doc. pribadi
Sempat merasa tidak percaya diri, ketika diberitahukan esok pagi-pagi sekali akan melakukan ritual menyaksikan matahari terbit. Ritual tersebut adalah bangun subuh lalu melakukan pendakian ke atas bukit dan menyaksikan terbitnya matahari.

Rasa tidak percaya diri karena sudah lama tidak “berolah raga” , coba aku tepis dan menyakinkan diri pasti bisa sampai ke atas sana. Apalagi sudah jauh-jauh dari Jakarta , kenapa tidak melihat indahnya matahari pagi yang tak pernah bisa aku saksikan di rumah. Baiklah, akhirnya aku berangkat.

Saat adzan berkumandang syahdu , memanggil setiap umat untuk beribadah, aku sudah mempersiakan diri untuk memulai perjalanan ini. Rasa kantuk dan udara dingin yang menyengat, sempat menyerang untuk menghalangi niatku. Untunglah segarnya air cukup membantu menghilangkan rasa kantuk tetapi tidak dengan udara dinginnya , menghembuskan nafas pun terlihat asap putih keluar dari mulut, hehe..
 
Hari masihlah gelap dan jalanan pun masih sepi, saat bus meluncur menuju tempat yang akan dituju yakni Bukit Sikunir. Angin sangat dingin dari balik kaca minibus membuatku semakin menggigil. 

Hmm.. aku teringat akan makanan tongseng yang aku makan sore kemarin itu. Walaupun disajikan panas-panas tetapi karena udara yang dingin di Dieng, dalam sekejab saja tongseng tersebut sudah menjadi dingin. Begitu juga dengan air mineral yang aku punya di kamar, esok paginya sudah dingin. Tinggal di Dieng, sudah tidak butuh kulkas empat pintu lagi , apalagi AC.

Perjalanan menuju lokasi Bukit Sikunir itu ternyata lumayan jauh dan dipenuhi kabut yang pekat. Herannya, supir yang membawa bus tersebut hafal sekali jalan yang dilalui, apalagi jalan tersebut termasuk jalan yang muat satu kendaraan mobil saja. Kabut menutupi jalan didepan dan seluruh tempat hingga sampai di lokasi parkir.

Oia, ketika masih dalam perjalanan, aku teringat akan perbincanganku dengan dua orang pemandu yang berada di Telaga Warna. Mereka mengatakan kalau nanti ke Bukit Sikunir akan melewati sebuah lokasi pembangkit tenaga listrik dengan memakai gas bumi. Mereka mengatakan bahwa listrik-listrik disekitar Dieng, memakai sumber listrik dari tempat tersebut. Aku hanya mengangguk sendiri ketika melihat lokasi tersebut, apalagi pipa-pipa yang besar melintang dan membayangkan seperti apa penyebaran penggunaan listrik dari tempat ini hingga sampai ke rumah-rumah penduduk dibawah sana?

diatas bukit sikunir - doc pribadi
Tiba di pelataran parkiran yang masih terdapat rumput. Tanpa tahu kalau di dekat parkiran tersebut digunakan sebagai tempat berkemah bagi para pengunjung yang hendak menginap sambil menunggu matahari terbit. Maklum saja, kabut tebal menutupnya dan pikiranku hanya tertuju mendaki bukit yang ada didepanku.

Perjalanan mendaki dimulai. Dari papan yang dipasang dibawah, aku mencatat dalam otakku jarak yang ditempuh 1 km. Tapi kabut tebalnya dihadapanku , tidak bisa melihat dikiri atau kanan jalan itu ada apa. Tetapi untungnya, cuaca sudah sedikit terang dan samar-samar diantara kabut bisa terlihat jalan. 

Perkebunan kentang mengawali langkah kaki ke tanjakan yang lebih tinggi lagi. Nafas mulai tersengal , tetapi ada sebuah kerinduan muncul dengan suasana dan pendakian seperti ini. Perasaan harus sampai ke atas kembali memacuku melewati tanjakan tanah berdebu. Setengah perjalanan, pandangan mata ku alihkan kepada pepohonan yang sudah tampak hitam. Sepertinya hutan di bukit sikunir ini terbakar atau sengaja dibakar. Sebagian besar habis menjadi gosong menghitam sampai ke pucuknya. Sungguh prihatin!

Jauh diseberang sana dibalik kabut , bukit hijau menjadi pemandangan yang amat memukau. Hadiah dari letih dan perjuangan mendaki bukit ini untuk melanjutkan melihat munculnya matahari terbit dan gunung-gunung yang mengitari tempat ini. Namun sayang, tujuan tersebut tidak tercapai. Mataharinya tertutup kabut dan hanya sepersekian menit dia menampakan diri lalu tertutup kabut lagi. Tidak jadi masalah, toh pemandangan yang memukau dengan latar kabut sungguh membuat mataku dimanjakan. 

Ketika turun bukit ternyata dibawah ada ojeg motor. Sengaja orang itu ada untuk mengantar pengunjung yang tidak sanggup lagi berjalan sampai ke tempat parkir. Kabut masih enggan berpaling dari bukit dan sepanjang perjalananku. Dari kejauhan tampak sebuah danau tapi masih belum jelas terlihat karena kabut masih menyelimutinya.

Telaga Merdada - Doc Pribadi
Surut air danau Cebong yang biasanya disebut, menjadi pembuka mataku. Kemarau yang hampir setahun ini tidak hanya menyurutkan Telaga Warna tetapi juga air yang ada di danau tempat aku berdiri. Dikejauhan panenan kentang sudah siap dalam keranjang. Dan sambil menunggu teman-teman yang lain datang, perlahan kabut menghilang dari pandangan.

***
Tempat yang tak kalah berkabutnya adalah Telaga Merdada. Tempatnya terpencil dan dikelilingi bukit. Perlahan kabut memenuhi telaga ini membuat udara semakin dingin dan sunyi tak betuan. Tetapi, bagiku ada keindahan tersendiri ketika telaga ini ditutupi kabut. Ditepian telaga terdapat ladang milik warga. 

Konon , tempat ini penghasil jamur terbesar se-Asia Tenggara. Akibat kecemburuan sosial dalam perusahaan tersebut, akhirnya mengakibatkan kerugian yang amat besar termasuk kepada penutupan perusahaan. Dan sayangnya, yang seharusnya dapat membantu warga disekitarnya mempunyai penghasilan dari usaha tersebut, karena keegoisan para petinggi perusahaan akhirnya banyak yang menjadi korban dan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, kecuali tinggal kenangan.

Rasanya kabut itu seperti mendekapku erat , ketika di Kawah Sikindang pun kabut seperti tak ada habisnya. Aroma seperti telor busuk mengawali jejak langkahku tiba di kawah yang katanya dalam dunia pewayangan sebagai tempat digodoknya ( direbusnya ) Gatot Kaca sehingga menjadi kuat berotot besi tulang baja. Wuiih seperti apa sih kawah itu? Jadi penasaran.

Kawah Sikindang - Doc Pribadi
Para pedagang sudah seperti semut menawarkan masker penutup hidung. Karena dari lokasi parkiran kendaraan aroma kuat tak sedap itu sudah tercium sangat kuat. Benar, bau belerang dari kawah sangat kuat dihembuskan oleh angin. Oleh sebab itu dengan harga Rp 2.000 , aku membeli masker untuk menutupi hidungku.

Dieng, memang terletak di dataran tinggi di Pulau Jawa. Selain telaga yang bisa dilihat, ternyata Dieng juga menyimpan sumber daya mineral lain berupa belerang. 

Kalau mau dilihat juga mungkin tidak akan menarik , karena hanya tempat yang penuh asap belerang dan tandus. Beberapa orang mengambil kesempatan dari tempat ini dengan menyediakan jasa foto dan cetak dengan hewan kuda yang dibawa mereka dengan biaya sangat terjangkau kurang lebih Rp 10.000,-. 

Lainnya lagi menjual batu-batu belerang dan lumpur belerang sebagai obat. Sungguh kreatif! Di dekat parkiran kendaraan dekat pintu masuk pun banyak juga yang berjualan oleh-oleh yang dapat dibawa pulang. 

Kawahnya sendiri berada agak jauh diatas dan hanya dipagari dengan pagar bambu. Padahal letupannya melebihi air mendidih dalam kuali yang besar. Air kawahnya yang bergejolak itu hitam pekat dan panasnya , ampun deh. Untung saja , kawasannya mempunyai udara yang dingin dengan kabutnya sehingga walaupun panas uap yang dihasilkan dari kawah tetapi disekitarnya terasa dingin.

Telaga Menjer - Doc Pribadi
Jangan nekat pula untuk bunuh diri dengan cara menyemplungkan diri ke dalam kawah. Tidak akan berubah menjadi Gatot kaca melainkan tinggal nama. Menurut cerita pernah ada yang nekat bunuh diri di kawah tersebut, iih ngeri membayangkannya. 

Satu kawasan terakhir yang menjadi kunjungan adalah Telaga Menjer. Dibandingkan telaga yang sebelumnya ada di Dieng, telaga ini tergolong cukup luas sebab seperti waduk dan sepertinya untuk pengairan. Bukit yang ada disekelilng telaga ini masih hijau jadi seger mataku melihatnya. Pohon pinus pun banyak terlihat di tempat ini dan mungkin itu juga pohon-pohon tersebut hasil menanam pohon para wartawan sehingga ada sebutan Bukit Wartawan.

Untuk menuju telaga , cukup dengan menuruni anak tangga lalu sampai dibibir telaga. Ada beberapa perahu yang siap mengantar siapapun yang ingin berkeliling. Tarifnya Rp 30.000 per orang satu perahu. Telaga Menjer memiliki luas sekitar 70 ha dan memiliki kedalaman sekitar 50 meter. Sebelum kembali ke Jakarta, aku menyempatkan diri untuk menikmati pemandangan disekitarnya yang dapat membuat siapapun betah berlama-lama disini. 

@Dieng
Veronica Setiawati
*dalam perjalanan bersama Photopacker Photopackers*

No comments:

Post a Comment

Hi all,
thanks for reading my post and give me some comments here.. :D