Masih cerita perjalanan saya menuju
Marunda yang berada di kawasan Utara dari Ibukota Jakarta ini, seakan tak
lengkap bila tidak melanjutkan untuk singgah di Kampung Tugu. Hati
menjadi penasaran untuk alasan apa sehingga disebut Kampung Tugu dan lestari
hingga saat ini.
Asal nama Tugu ternyata beragam
versi. Pertama, karena ditemukannya sebuah prasasti tugu peninggalan kerajaan
Tarumanegara di wilayah Cilincing ini, maka dinamai tempat penemuan tersebut
adalah Tugu. Diduga juga , disekitar wilayah tersebut merupakan kerajaan dari
Raja Purnawarman.
Prasasti Tugu dengan lima baris
kalimat berhuruf palawa menyingkap pembuatan kanal dari Sungai Candrabagha
(Kali Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Cakung) sepanjang 11 kilometer.
Diperkirakan pembuatan kanal itu memiliki dua tujuan, yaitu meredam banjir dan
untuk irigasi pertanian.
Versi lainnya lagi nama Tugu berasal
dari kata Por-tugu-ese (Portugis). Sejak penjajah Belanda masuk Nusantara
dan menang dari Portugis, dan tentara Portugis yang menjadi tawanan di
tempatkan dalam satu wilayah di daerah Cilincing ini kemudian menjadi satu
perkampungan. Sehingga kawasan yang dihuni oleh orang-orang Portugis ini di
beri nama Kampung Tugu. Dan sekarang mereka telah membaur dari sejak awal
silsilah keturunan mereka.
Versi lainnya , berarti yang ketiga
ya. Nama Tugu berasal dari nama pembatas wilayah yang waktu itu banyak
terdapat di daerah ini. Nama Tugu sekarang diabadikan untuk nama
kelurahan, tetapi dahulu nama Tugu dipergunakan untuk menyebutkan nama tempat,
misalnya Kampung Tugu Batu Tumbuh, Kampung Tugu Rengas, Kampung Tugu Tipar,
Kampung Tugu Semper, dan Kampung Tugu Kristen.
Dahulu wilayah Tugu ini merupakan
tempat yang luas tanahnya yang dipergunakan untuk area persawahan penduduknya.
Lama kelamaan semua itu dijual dan berubah menjadi tempat penyimpanan container
yang keluar masuk pelabuhan Tanjung Priok. Bahkan akan sangat sulit ditemukan
bentuk rumah asli dari penduduk Tugu ini. Hmm.. sangat disayangkan yah, kini
hanya tinggal ceritanya saja.
Di Kampung Tugu, ada sebuah
peninggalan sejarah yang sampai saat ini di lindungi , yakni sebuah bangunan
rumah ibadah yang dikenal dengan nama Gereja Tugu. Sebuah Gereja yang dibangun
oleh pemerintahan Kolonial Belanda untuk tawanan Portugis ini. Mereka dahulu
memaksa untuk mengubah keyakinan para tawanan dan keturunannya ke Kristen Protestan.
Kemudian selanjutnya pada Tahun 1960 Gereja Tugu yang berlokasi di Jl. Raya
Tugu Semper No. 20, RT 010/06, Kel Semper Barat, Jakarta Utara, ditetapkan dan
di syahkan masuk menjadi anggota penuh GPIB.
Bentuk bangunan gerejanya
mengingatkan saya akan Gereja Sion yang terletak di ujung jalan Pangeran
Jayakarta , Kota. Bangunan yang juga merupakan gereja portugis diluar kota. Dan
kedua bangunan tersebut memiliki bentuk arsitektur dan tata letak ruangan yang
hamper serupa. Bagian dalam ruangan , terdapat barisan tempat duduk yang dahulu
di gunakan untuk para kaum bangsawan dan barisan tempat duduk yang menghadap ke
mimbar/altar adalah untuk para budak,awam atau orang biasa.
Di belakang gereja juga terdapat
satu lokasi tempat pemakaman dan kalau dilihat dari nama-nama yang terdapat
pada batu nisan tersebut, mereka yang dimakamkan adalah kaum keluarga dari
orang-orang keturunan Portugis dengan nama belakang mereka . Komplek pemakaman
ini bukan sembarangan komplek seperti pemakaman umum, Mayarakat tugu sepakat
untuk membuat komplek pemakaman ini khusus bagi warga keturunan portugis. Yang
dimakamkan disana ada kaitannya dengan pembangunan Gereja pada saat itu. Nenek
moyang mereka yang dimakamkan disana lah yang membangun gereja GPIB Gereja
Tugu..
Gereja Tugu juga memiliki Lonceng
gereja yang terletak sekitar 50 meter dari gedung gereja. Anak lonceng yang tua
kini di museumkan dan masih dapat dilihat. Dalam sebuah kotak kaca di teras
sebuah rumah yang ada di dalam kompleks gereja tugu.
Uniknya pintu utama gereja tidak
menghadap ke jalan raya , seperti saat saya masuk ke dalam komplek gereja.
Melainkan menghadap ke sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari pekarangan
gereja. Mendengar cerita ternyata sungai kecil yang merupakan aliran dari
Sungai Cakung ini merupakan jalur transportasi yang digunakan oleh warga
sekitar atau mereka yang akan beribadah.
Dan hal ini jadi muncul dipikiran
saya. Mungkin saja dahulu kala ada halte untuk pemberhentian perahu , sehingga
diketika ada penumpang yang turun di gereja tugu , maka petugas yang
menjalankan perahu akan menepikan perahunya. Atau bisa saja seperti sekarang
transportasi mahal adalah mobil pribadi, mereka pun juga punya perahu pribadi
sendiri. Bisa jadi begitu kan, ya?? hehe..
Salam dari Penjelajah Kota Tua
Veronica Setiawati
Jkt, 31 Agst 2014
No comments:
Post a Comment
Hi all,
thanks for reading my post and give me some comments here.. :D