Kraukk.com

728 x 90

Monday, October 31, 2011

Cerita Dari Magelang – Part 1

Tiba di bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, hari masihlah pagi sekitar pukul 7 dan langit kota budaya ini masih diliputi awan kelabu. Seorang lelaki lengkap dengan baju tradisional Jawa sudah menunggu dengan senyum yang mengembang dan menjadikan bandara menjadi cerah. Ia menanti kedatangan rombongan dari Lumix Fun Photo Trip dengan sebuah kertas ditangannya.

Lelaki itu yang ternyata adalah Tour Guide kami. Di dalam bus ia memperkenalkan diri akan menemani sepanjang perjalanan kami hingga hari terakhir kami di Magelang dan Yogyakarta. Ia banyak cerita mengenai kota Yogya dan baju tradisional yang ia kenakan.

Dari bandara , tujuan pertama kali adalah singgah di sebuah rumah makan yang dekat sekali dengan kompleks Universitas Gajah Mada. Dari tepi jalan kami masuk ke salah satu gang dan menemukan sebuah rumah yang sederhana tetapi sangat ramai disinggahi. Rumah makan yang menyediakan makanan khas Yogyakarta, yakni Gudeg Yu Djum.

Dari informasi bapak tour guide-nya, rumah yang kami datangi adalah rumah asli dari si pemilik nama rumah makan ini. Di depan pintu masuk, beberapa bapak-bapak tua memainkan alat musik keroncong dan mereka bernyanyi bersama. Saya seperti menjadi tamu kehormatan mendapat sambutan musik yang mungkin sudah tidak dapat di dengar di televisi ataupun radio.

Gudeg disajikan di atas piring yang terbuat dari anyaman bambu dan dialasi daun pisang segar dan kertas nasi berwarna coklat. Diatasnya terdapat nasi, telor dan irisan daging serta beberapa cabai hijau. Rasa gudeg itu begitu manis dilidah dan bumbu-bumbunya menambah rasa sesuai selera. Suasana di dalam rumahnya begitu akrab dan nyaman.

Bagian belakang rumah adalah dapurnya. Bahan masakan untuk gudeg ini dimasak di atas tungku yang menggunakan kayu bakar. Beberapa potongan kayu bakar sudah siap sedia di dekat tungku. Pemandangan yang tak pernah dilihat di kota besar seperti Jakarta.
Perjalanan dilanjutkan setelah sarapan dan menuju Magelang dan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam setengah. Dari Yogya perjalanan melewati Jalan Raya menuju Magelang, lalu Muntilan hingga menuju kota Magelang, menuju tempat penginapan kami yakni di Hotel Puri Asri.

Saat melewati Jalan raya tersebut beberapa kendaraan alat berat sedang memperbaiki tempat dimana saksi bisu dari letusan Merapi tanggal 26 Oktober 2010, menghancurkan tempat ini. Puing-puing sedang dibersihkan dan ruas jalan dialihkan. Kemudian, ketika melewati daerah Muntilan, kami diajak melihat bangunan yang kedua atap rumahnya berbentuk seperti pelana kuda.

Disebutkan bahwa kawasan Muntilan ini adalah kawasan Pecinan atau kaum Tionghoa di Jawa Tengah. Masih banyak terdapat bangunan bersejarah tetapi kurang diperhatikan dan sekarang menjadi tempat yang ramai. Di tepi jalan kawasan ini , terdapat sebuah wihara yang bersejarah bernama Hok An Kiong yang ternyata setelah santap siang kami berkunjung ke tempat ini.

Di kota Magelang sendiri, terasa kota ini sangat nyaman dan tenang. Seperti semua pergerakan roda ekonomi begitu pelan tetapi enak untuk dinikmati. Tidak ada tergesa-gesaan dan terlihat mereka yang tinggal begitu menikmati hidup. “Rasanya di tempat senyaman ini, nilai uang masih memiliki arti”, demikian yang dikatakan teman saya, saat bus melintasi kota Magelang.

Ketika kami tiba di Hotel Puri Asri dibagikan ruang kamar dan kelompok Photo. Satu kelompok terdiri dari tiga orang dipinjamkan satu kamera pocket merk Lumix , lengkap dengan memorycard dan charger. Jadi, selama dua hari , kami masing-masing dalam satu kelompok memotret apapun dari tempat-tempat yang nanti dikunjungi dengan kamera yang dipinjamkan untuk dilombakan. Walaupun kami masing-masing juga membawa kamera pribadi.

Setelah makan siang di sebuah tempat makan “Sego n’Deso” di kawasan Jl. Pemuda, Magelang kami melanjutkan perjalanan. Tempat pertama dari Lumix Fun Photo Trip adalah Wihara Hok An Kiong yang tadi sudah dilewati. Cuaca cukup terik dan matahari menyinari bumi dengan sengatnya yang menusuk kulit. Gapura wihara yang menawan dengan ornament berwarna merah menyambut kedatangan kami.

Lekukan dari tiap-tiap atap gapura yang terdiri atas tiga susun ini mengingatkan saya dengan sebuah Wihara yang terdapat di sebuah kawasan perumahan elite di Ancol yakni Wihara Da Bo Gong. Saya hanya menduga mungkin ada kaitannya karena kemiripan dari gapuranya terlihat jelas. Dan ternyata benar , wihara tersebut ada kaitannya dengan Laksamana Cheng Ho seperti yang ada di Ancol. Dan tertulis di dinding pagar Anno, 11-05-1929.

Setelah puas mengambil beberapa photo di wihara Hok An Kiong, tempat kedua adalah Candi Borobudur. Tempat bersejarah yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 09 Juli 1989 dan menjadi salah satu keajaiban dunia ini sudah mulai dibuka kembali untuk umum sejak pembersihan dari abu vulkanik Merapi yang katanya beberapa bagian sudah mengalami perubahan dari bentuk aslinya.

Dan para pengunjung sudah diperbolehkan untuk naik ke stupa atau tingkatan yang 9 – 10 dari candi yang megah ini. Tetapi itupun tidak boleh terlalu lama juga pengunjung tidak boleh duduk di stupa candi.

Setelah turun dari bus kami diserbu para pedagang, mereka memaksa dengan caranya membeli souvernir, kaos atau apapun. Harus pinter-pinter menolak deh karena kalau diladeni mereka akan terus mengejar.

Harga tiket masuk Candi Borobudur sebesar Rp 20.000,- per orang dan ada guide-nya. Sebelum masuk ke dalam pelataran candi, pengunjung diperiksa oleh keamanan dan melewati pintu detector. Segala macam bawaan diperiksa, sekarang pengamananya super ketat atau mungkin baru sadar kalau tempat ini adalah salah satu peninggalan sejarah yang harus dijaga kelestariannya.

Setelah di dalam pelataran para pengunjung diberikan kain penutup satu orang satu kain yang dililitkan dipinggang. Saya teringat seperti mau masuk ke Pura Jagatkarta yang ada di Bogor, pengunjung wajib memakai kain. Dan setelah selesai dari Candi Borobudur, kain tersebut dikembalikan kembali.

Dengan berjalan kaki, kami menuju lokasi candi hingga menuju anak tangganya. Tetapi dari kejauhan pesona Candi Borobudur yang pertama kali saya kunjungi saat masih SMA, sudah terlihat jelas puncak stupa dan beberapa bagian badan candi. Apalagi matahari sore muali menyembul dari bagian badan candinya membuatnya bercahaya.

Memang ada beberapa tempat di lantai ke dua atau ketiga yang di tutup dan para pengunjung tidak diperkenankan untuk melintas. Katanya sih selain pemugaran juga ada beberapa relief orang dewasa yang tidak pantas dilihat oleh anak-anak. Kami di ajak oleh guide candi melewati sisi kiri candi serta melintasi sebuah pohon yang disebut Pohon Bodhi, tempat Sang Buddha bertapa dan mendapat pencerahan.

Saya kagum dengan bangunan candi yang megah ini dan hebatnya kisah perjalanan seorang Buddha digambarkan di relief dinding candi. Batu-batuan saling menempel tanpa semen ataupun perekat hingga dapat kokoh berdiri seperti ini. Sebuah maha karya yang luar biasa.

Di pertengahan candi, kami melihat bukit yang menjulang. Bukit tersebut dikenal dengan Bukit Menoreh. Jika diperhatikan bukit tersebut seperti orang yang sedang tidur dengan posisi telentang. Dan keindahan pemandangan yang ditampilkan begitu memukau saat matahari hendak menuju tempat peristirahatannya. Sungguh luar biasa tempat seindah ini hadir dan nyata di depan mata.

Akhir dari perjalanan hari pertama di Magelang, adalah kembali ke kamar hotel yang sejuk. Lalu melanjutkan ke ruang makan dimana hidangan makan malam sudah menanti serta di mulai workshop tentang Fotografi oleh Mas Kelik Broto dari Majalah Tamasya, majalah yang menyelenggarakan acara ini.

Cerita Magelang hari pertama di tutup sampai disini :)

Penulis
Veronica Setiawati
Peserta LUMIX Fun Photo Trip
www.veronicasetiawati.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Hi all,
thanks for reading my post and give me some comments here.. :D